Kamis, 26 Maret 2009

Susi dan Jogya III


Pagi ini Susi telphon ke rumahnya, kebetulan yang menerima Sony adiknya. Sony sangat terkejut saat tahu suara ditelphon itu adalah susi, banyak percakapan mereka seputar keluarga.




"Son, bilang sama bapak dan ibu, sekarang aku ada di luar kota, kerja di perusahaan agribis, dan baik - baik saja. Oh ya, aku kirim gajiku selama tiga bulan ini, tolong berikan kepada Ibu, semoga bisa dipakai untuk keperluan disana. Sudah ya son, kapan - kapan aku telphon lagi"




Susi cepat - cepat menutup telphonnya, begitu melihat bu Dewi sudah di dekat pintu.




Telphon kemana Sus? kok buru - buru gitu..? mami tahu, kamu telphon kemana.., nggak apa - apa Sus.., tapi, mami berharap, kamu tidak berpikir untuk kembali ke daerahmu. Oh ya, order dari CV LUMINTU kemarin sudah di buatkan perintah produksinya..? kebetulan hari ini, mami mau ke lapangan, untuk analisa produksi pupuk dan evaluasi kwalitasnya. coba kamu bikinkan, nanti mami bawa. Jangan lupa, jam satu siang, pak Kodrat akan datang, tolong temui beliau, beliau owner CV. LUMINTU, dan, kamu tahu sendiri kan..? tiga bulan terakhir ini order dari CV. LUMINTU semakin berkembang. Jadi, mami harap, kamu nanti tidak mengecewakan, dalam menerima Pak Kodrat.




Susi segera menyiapkan surat perintah produksi yang diminta bu Dewi. beberapa saat kemudian, surat itu sudah di tangan Bu Dewi. Setelah itu, Bu Dewi langsung masuk mobil yang sudah dari tadi menunggu didepan kantor.



Sudah hampir empat bulan Susi di Jogya, rutinitasnyapun sudah jelas. Ada banyak kejanggalan yang Susi dapatkan dirumah ini. Pola hidup di keluarga ini tidak mampu Susi pahami. Namun demikian, Susi sudah mampu beradaptasi, dan menjalani hari - harinya dengan wajar, sesuai dengan kata hati dan prinsipnya. Terhadap Anak - anak Bu Dewi, Susi memperlakukan mereka laksana adik sendiri, merekapun demikian, sangat sayang kepada Susi.



Sebenarnya, Susi sangat sibuk, karena pekerjaan kantor yang seharusnya dikerjakan tiga orang di tangani dia sendiri. Namun, Susi maklum karena perusahaan ini baru merintis, dan sifatnya kekeluargaan. Susi memang tangkas, dia mampu menghandle semua pekerjaan itu dengan cermat, tepat dan cepat. Dia begitu bersemangat dan menikmati pekerjaannya. Susi bahkan bisa dengan mudah melupakan permasalahannya bersama Ardi. Susi tidak sempat memikirkan, dan tidak mau kepikiran. Pada akhirnya, Susi jadi lebih paham bagaimana watak Ardi.



meskipun Susi dan Ardi sudah betul - betul tidak ada komunikasi, dan hubungan mereka pupus begitu saja, Susi sama sekali tidak larut dengan kondisi itu, karena hari - hari Susi, sudah dirasa cukup menyenangkan. Disamping itu, Susi sudah punya seseorang untuk sharing, mesikpun tidak pernah ketemuan, Susi sudah cukup terhibur dengan kedatangan surat - suratnya. Dia adalah Wayan. Yah, Wayan dan Susi sekarang berteman baik. Tapi, mereka tidak pacaran, tidak ada kata - kata cinta dalam surat atau telphon - telphon mereka.



"Saing mbaak..., eh siang mbaak...?"



Ucapan selamat siang yang lucu itu mengejutkan Susi dan sempat membuat Susi tertawa kecil. Namun, Susi segera menjaga sikap, setelah si tamu menyebut namanya.



"Saya kodrat mbak..., kata Cak Momot, urusan administrasi bisa diselesaikan sama mbak...., mbak siapa ya...? kok tadi cak waktu telphon cak Momot nggak nyebutkan namanya...,



"Susi pak, ma'af..., silahkan duduk pak..."



"Oh ya, mbak Susi..., makasih mbak, jadi.., kursi ini boleh saya duduki ya...?"



"Wah, Bapak bikin saya tertawa terus, tentu bolehlah pak..., monggo..., saya ambil dulu ya, data - data orderan bapak"



Susi kembali keruang kerja, diambilnya semua berkas order milik pak Kodrat. Pak Kodrat dari tadi memperhatikan gerak - gerik Susi, wajah Susi memang cukup menarik. Meskipun tidak cantik, tapi sedap dipandang. Rambutnya yang panjang bergelombang, tak pernah diajak rapi, disisir seadanya. Susi memang sangat santai dalam berpenampilan. Menu pakaian sehari - hari hanya T-shirt dan jins, karena memang pakaian itu yang dia bawa. Meskipun terkesan cuek, masih ada kesan ramah di wajahnya. Tidak mustahil kalau banyak lelaki yang tertarik padanya. Tak terkecuali pak Kodrat. Dari sorot matanya, terlihat sekali kalau dia tertarik pada Susi, atau.., memang sudah jadi rumus, laki - laki melihat lawan jenis, yang masih kinyis - kinyis, pasti pasang wajah klemis. Setelah berkas - berkas itu sudah siap, Susi segera keruang tamu.



"Pak, ini rekapitulasi transaksi pesanan bapak selama satu bulan, yang ini jumlah orederan.., nah kolom sebelah sini harga dan nominalnya..."




"Segini ya mbak Susi...? ya udah saya bukakan cek hari ini"




Pak Kodrat segera menulis total nominal yang ada di transaksi itu. ada dua lembar cek yang dibuka. Susi bingung, dengan dua lembar cek yang di tulis pak Kodrat. Pikir Susi, mungkin keuangan pak kodrat hari ini tidak cukup untuk membuka cek sebesar nominal yang ditransaksikan, jadi dia pecah jadi dua lembar.




" Ini payment saya mbak Susi.., yang ini untuk pelunasan, satu lembar lagi untuk yang mengerjakan nota - nota transaksi saya..." tolong di terima ya..?"




"lho kok..? nilainya sama pak...? aduh.., ma'af, saya tidak bisa menerima pak, ini sudah jadi tugas saya, dan saya sudah mendapat gaji dari apa yang telah saya kerjakan, dan itu sudah lebih dari cukup bagi saya. Terima kasih pak.., dengan order ditempat kami, itu sudah sangat membantu saya..."




"Hmmm, gitu ya...? ya udah..., saya nggak maksa, tapi, suatu saat saya memberikan sesuatu untuk mbak Susi, tolong di terima... Oh ya, sudah makan siang..? kalau belum, saya mau ajak mbak makan siang...,"




"Sudah Pak, terima kasih, saya tidak biasa makan diluar, lagian..., kantor nanti kosong kalau saya tinggal.."




"waduuuh..., mesakke tenan aku iki, kok di tolak terus ya mbaak...? tapi, nggak apa - apa dech. ada satu lagi, dan yang ini pasti mbak nggak bisa nolak, boleh saya ngobrol sebentaaar... saja, boleh ya...? "




"iya, silakan pak, mungkin ada yang bisa saya bantu..,"




"ya jelas ada to..., begini..., mbak Susi itu aslinya mana..? sudah punya pacar apa belum...? dan, pingin punya pacar seperti apa...? ma'af lho mbak kalau saya lancang..., lha wong saya seneng lihat mbak Susi...,"




"Saya aslinya jawa timur, saya punya banyak teman dan sahabat.., tapi, di Jogya sini, saya belum punya teman.., makluum...., meskipun saya sudah hampir empat bulan disini, saya belum pernah keluar gedung bangunan rumah ini. Tapi..., saya menikmati kok pak..., dan, sekarang, soal pacar..., belum terpikir, dan belum pingin..., hanya ini yang bisa saya jawab, terima kasih..,saya mau melanjutkan pekerjaan..., masih banyak yang harus saya selesaikan, ma'af, saya mau kembali ke meja saya.., kalau bapak menunggu papi datang, silahkan.., mungkin ada yang perlu dibicarakan dengan papi, nanti jam setengah dua papi sudah pulang..,"




"monggo mbak Susi.., silahkan kerja lagi.., saya sudah seneng kok mbak, pertanyaan saya dapat jawaban.., kalau gitu, saya nunggu cak Momot disini aja...,"




"huh, dasar lelaki, baru juga ketemu, sudah berulah, ngasih cheqlah.., nanya pacar lah..., mentang - mentang berduit..., norak...! memuakkan...!"




Susi menggerutu nggak karu - karuan didalam hati. Dia sama sekali nggak interes sama yang namanya pak kodrat. Kalau dia ramah itu karena tuntutan. dia customer terbesar di perusahaan ini, dan, bu Dewipun sudah mewanti - wanti agar baik dalam melayani.



Susi lega sekali, lima belas menit kemudian, cak Momot sudah ada di kantor, akhirnya pak Kodrat dan Cak momot beranjak pergi.









-----------------------------------------








"Mbak, Uli capek..!, mami dan papi selama ini sibuk sendiri - sendiri.., mereka berdua tidak pernah nanya - nanya soal pelajaran atau nilai - nilai ulangan Uli, untung sekarang ada mbak Susi..., Uli bisa curhat, dan belajar dengan mbak Susi, tapi..., mbak Susi jangan sedih ya, kalu dinakali sama dik Dito...? dia memang nakal mbak..., Uli sendiri sering kena tendang dan jambakannya dia. Nggak tahulah mbak... Dito itu nakal sekali, mami nggak pernah marahin meskipun tahu Dito kasar sama Uli. Oh ya mbak, mulai hari ini, mas Argo, Mas Gozi dan Mas Doni akan tinggal dirumah ini lagi. Kebetulan Mas Gozi ditempatkan di hotel sini, sebagai manager, sedangkan Mas Argo, Uli dengar kembali ke rumah ini bersama istrinya, karena istrinya bertugas sebagai dokter tetap disalah satu rumah sakit dikota ini, Mas Argo sendiri buka art gallery di malioboro.., Untuk Mas Doni..., masih aktif dengan grup bandnya, saat ini, Grup band Mas Doni di jadikan pengisi acara tetap di hotel tempat Mas Gozi bekerja.., jadi, mulai nanti malam, rumah kita akan ramai mbak.., tapi mbak jangan kaget ya...? Mas Doni orangnya agak aneh"




Uli banyak bicara dengan Susi, bu Dewi dan Cak Momot ke pontianak, urusan anak - anak diserahkan pada Susi. Besok pagi, mereka baru pulang. Selama ini, kalau sedang tidak pergi kemana - mana, bu Dewi memang banyak menghabiskan waktu bersama Susi, pada saat jam kerja mereka berdua sibuk di kantor, malamnyapun mereka sering ngobrol, bahkan sampai larut. Susi banyak mendapatkan masukan soal falsafah hidup dari obrolan tersebut. Bu Dewi orang yang ulet dan berpandangan luas dalam menghadapi persoalan hidup. Walaupun banyak kegiatan aneh yang tidak dipahami Susi, Susi tidak pernah mempertanyakan atau mempermasalahkannya. Namun, Susi kasihan dengan anak - anak Bu Dewi, karena memang kenyataannya, Bu Dewi kurang dekat dengan anak - anak. Tapi, mungkin sebatas itulah ekspresi dan aplikasi bu Dewi dalam menunjukkan kasih sayang terhadap anak - anaknya.





"sudahlah Uli, soal mami dan papi jangn terlalu dipikirkan, mbak yakin, mami dan papi sangat menyayangi kalian. Sekarang, yang penting, Uli. Dito dan Dewo juga mbak, harus banyak do'a, biar keluarga ini selalu diberi limpahan rahmat dari yang kuasa...."




Uli dan Susi ngobrol sampai hampir pukul sembilan malam. pembicaraan mereka terputus saat pintu kamar diketuk,




" oe....,! ada machluq didalam...? ini rumah kok sepi banget...? pada kemana sih penghuninya...?!, keluar - keluar....! jangan ngumpet dikamar.., masih sore oe....! Ada artis datang mbok ya disambut......!"




"suara kak Doni tuh mbak..., yuk keluar...!"




Uli dan Susi segera keluar kamar. Doni, Argo dan Gozi sudah ngobrol di ruang keluarga. Susi dan Uli ikutan nimbrung, begitu juga Dewo, suasana rumah jadi gaduh dengan cerita2 lucu Doni. Argo dan Gozi banyak diam dab hanya jadi pendengar. Teryata cak Momot dan Bu Dewi sudah bercerita soal Susi kepada ketiga anak angkat mereka, dan mereka menerima Susi dengan hangat, seperti sudah lama mengenal Susi. Susi yang semula kikuk, jadi cair dan nyantai. Setelah banyak cerita ngalor ngidul, acara kumpul2 diruang keluarga berakhir juga, satu persatu mereka masuk ke kamar masing - masing.




-----------------------------------------





Pagi ini, Susi betul - betul dibuat takut oleh ulah Yayan. Pada saat Susi hendak masuk ke kantor, tiba - tiba saja Yayan menghadang dengan wajah yang tidak ramah.




"Ingat Sus, aku sudah memperingatkan kamu, jangan sampai terjadi sesuatu yang membuat tamat hidupmu. Kalau Argo, Gozi dan Doni bisa menerima kamu, jangan kamu merasa betul - betul diterima dikeluarga ini, masih ada aku yang akan jadi penghalang kamu. Dan, jangan kamu bangga dengan apa yang telah kamu lakukan disini, karena suatu saat, kamu akan tamat...! habis....! Camkan itu....! Jadi, sebelum sesuatu yang tidak menyenangkan akan terjadi, cepat kamu pergi dari sini, kembali ke daerah asalmu...!"




Mendapat sapaan yang bernada ancaman dari Yayan, Susi tidak terkejut, dan menanggapi dingin ancaman itu. Dengan santai Susi melewati tangan Yayan, dan masuk ke kantor..., tanpa berkomentar apapun. Susi sudah bulat tekad memupuk keberanian untuk terus melangkah. Yayan yang merasa ditanggapi dingin, merasa benar-benar ditantang oleh Susi. Sebelum dia berlalu, masih juga dia menegaskan bahwa apa yang dikatakan tadi suatu saat akan dia buktikan.




"kenapa Yayan begitu benci padaku...? apa aku salah kalau bu Dewi memberi kepercayaan padaku..? ketiga anak angkat bu Dewi yang lain tidak seperti Yayan, mereka baik semua. Haruskah aku bicarakan ini dengan bu Dewi..? ah, tidak, aku tidak akan bicara apa-apa, aku bisa memahami perasaan Yayan. Apapun yang dikatakan Yayan, tidak perlu kupikirkan, biar saja dia begitu, suatu saat, Yayan akan berubah. Aku yakin itu.




Susi mencoba menenangkan diri sendiri dengan berpikir positif tentang Yayan. Dia kembali berkutat dengan pekerjaannya. Begitu seriusnya dia bekerja, sampai - sampai tidak menyadari bahwa bu Dewi sudah ada diruang tamu, Susi beranjak dari meja komputer, pada saat terdengar suara lentingan gitar..., disusul nyanyian merdu yang dilatunkan Doni.




"Ayo Sus, gabung sini..., jangan sibuk kerja terus..., hari ini kita santai aja.., mami tahu kamu suka main gitar.... Sudah.., matikan komputernya..., mami penat Sus, mami mau rileks, di pontianak sangat menegangkan..."



"Mami...., tanggung mi..., lagian, ini kan jam kerja, Susi mau rekap dulu gaji mingguan anak - anak produksi, sebentar lagi selesai, tunggu aja, sebentar lagi Susi gabung.."




"Ya udah..., mami tunggu..."




Gaya hidup santai seperti itu, belum pernah Susi temui pada wanita paroh baya seperti Bu Dewi, Susi sendiri sebenarnya sejiwa dengan bu Dewi, meskipun ada beberapa hal yang Susi sebenarnya kurang bisa menerima. Kelar sudah rekapan gaji mingguan anak - anak, Susi segera mematikan komputernya, dan bergabung dengan Bu Dewi dan Doni.




"Nah..., gitu donk.....! berikan gitarnya ke Susi Don...!




Sejurus kemudian, gitar sudah berpindah ke tangan Susi, tanpa grogi Susi mulai memetik senar gitar, dan mengalunkan lagu-lagu old days kesukaan Bu Dewi. Suasana kantor jadi meriah, karena Gozi, dan Argo bergabung juga, mereka bertepuk tangan penuh semangat pada saat Susi mengakhiri lagunya...,




"Wah, nggak nyangka.., bisa main gitar juga kamu Sus...? nanti malam, ikut aku ngisi ya...?"




Doni senang sekali dengan bakat musik dan nyanyi yang dimiliki Susi. Mendengar tawaran Doni, Bu Dewi buru - buru menimpali,




"eit...! tidak..., tidak..., Susi tidak boleh kemana - mana, Susi cukup dirumah ini saja. Tidak seorangpun dari kalian yang boleh membawa Susi keluar dari rumah ini. Baik untuk jalan-jalan, atau untuk keperluan yang lain. yang bisa membawa Susi pergi, cuma mami..."




Doni cuma nyengir mendengar ocehan bu Dewi, yang lainpun cuma senyum - senyum. Lain halnya dengan Susi, dia jadi heran.., kenapa bu Dewi begitu protektif terhadapanya, ada apa...? Namun Susi segera menghalau pertanyaan itu, biar tidak sempat nyangkut ke otaknya. Susi menghibur diri dengan menanam anggapan bahwa Bu Dewi protect terhadapnya karena memang benar - benar menyayangi dia.

hampir satu jam acara kumpul - kumpu di kantor bambu berlangsung, acar jadi semakin meriah ketika cak Momot datang bersama pak Kodrat. Melihat Pak Kodrat ikutan nimbrung, Susi berusaha menghindar, dengan pamitan ke rumah induk. Namun semua yang ada disitu mencegah, malahan mendaulat Susi untuk main gitar lagi. Susi tidak bisa menolak, meskipun hatinya dongkol dengan adanya pak kodrat disitu, Susi tetap memainkan gitar.

Tepat pukul satu, Susi pamit kerumah induk, kali ini tidak ada yang mencegah karena dia mau sholat. Hatinya sedih, karena semua yang ada disitu larut dengan kegembiraan, dan ditambah dengan menu minuman keras, yang selama ini belum pernah ia kenal. Sepertinya, minuman keras sudah jadi hal yang biasa. Mulai timbul rasa ragu dalam diri Susi, haruskan dia terus disini dengan kondisi seperti ini...? inikah yang dimaksud Yayan tentang "kerusakan" itu...? berkecamuk lagi pikiran Susi, ketidak fahaman dia soal pola hidup disini mulai menguasai pikirannya.



"tidak, aku harus tetap bertahan, apapun yang terjadi..., bagaimanapun kondisi dan gaya hidup disini, tidak akan mempengaruhi hidupku. Aku punya prinsip, dan tidak akan ada yang mampu mengacaukan prinsipku, siapapun itu, bahkan yang terdekat denganku"


-------------------------


Golok di kamar Yayan....?
Apa yang akan di lakukan pak Kodrat...?
Bisakah Susi keluar dari rumah itu....?


@@@@@@@@@@@@@@@@
nantikah kelanjutannya di Susi di Jogya IV

@@@@@@@@@@@@@@@@@@




Minggu, 22 Maret 2009

Susi dan kota Jogya II

"Sus, Besok Cak Momot pulang dari Magelang, kamu jangan kaget kalau tiba-tiba ada pertanyaan sedikit ekstrim yang keluar dari mulut Cak Momot",


"Siapa cak Momot bu..?"


"Mi.., panggil ibu Mami"


"hmm...ma'af, bu..eh Mi.., Siapa Cak Momot Mi"


"Cak Momot itu suami ibu, bertampang garang, bersuara keras, berbahasa kasar, tapi bergaya hidup santai, serta punya hati yang baik"


"bu...eh Mi..."


Rupanya Susi susah beradaptasi dengan panggilan Mami kepada Bu Dewi. Dia merasa kurang sreg memanggil ibu dengan sebutan Mami, tapi dia biasakan juga, kareana itu yang diinginkan oleh Bu Dewi.


"Mi..., sudah dua hari Susi disini, tidak ada pertanyaan dari Mami tentang penyebab kepergian Susi dari rumah, begitu juga Dewo, Uli dan Dito. Mereka biasa saja menerima Susi, dan..., yang membuat Susi tidak mengerti, kenapa mami seolah - olah tahu kalau Susi bakal datang ke rumah ini...?"


"Sudahlah Sus, tidak usah kamu pertanyakan itu, lambat laun kamu pasti akan temukan jawabannya sendiri. Oh ya, Mami punya empat anak angkat, laki - laki semua, yang tiga ada di tempat lain, yang satu tinggal di kos - kosan mami, ayo.., mami ajak kamu keliling bangunan di rumah mami"



Susi dan Bu Dewi berjalan mengelilingi bangunan rumah itu. Terrnyata, bangunan rumah bu Dewi sangat luas, dibelakang dinding menjulang tinggi yang dihubungkan dengan satu pintu ke rumah induk, ada bangunan kos-kosan putri, lantai dua, terkesan rapi dan bersih. Dengan jumlah kamar sebanyak dua puluh, kos - kosan bu Dewi terlihat sangat terawat dan asri. Di belakang kos-kosan ada bangunan bernuansa bambu, dan di depan bangunan terhampar taman dan kebun yang luas dan terawat. Taman dan kebun terbagi dua dengan luas tanah yang sama, dan di pisah dengan sungai buatan, sangat sejuk dan segar di mata..., cocok untuk Susi yang punya hoby menyendiri. Nampak seorang laki - laki tengah mengatur dan membersihkan taman, dia berperawakan tinggi. Susi tidak bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu, karena jaraknya memang lumayan jauh. Tiba - tiba dengan lantang bu Dewi berteriak,



"Yan...........!, coba kamu tengok yang disebelah selatan, ada banyak rumput liar yang mulai tumbuh...! bersihkan saja yang sebelah situ....! jangan terus-terusan di taman.....! coba kamu lihat, di sela - sela tanama kol itu, rumputnya dah mulai kelihatan.....!


"itu Yayan Sus, anak angkat mami yang tinggal di kos - kosan, dia mami bawa kerumah ini ketika masih SMA kelas dua. Sekarang, dia sudah tamat kuliah. Mami sengaja tidak ingin memberi pekerjaan di perusahaan, karena Mami ingin melihat usaha Yayan, dia terkesan ogah - ogahan, padahal dia sarjana tekhnik. karena itulah mami biarkan saja dia, mau jadi apa. Tapi masih untung, dia mau bersih - bersih taman dan kebun ini. Sekarang dia sudah beristri, istrinya jarang keluar kamar. Nggak tahulah Sus, mami lihat ada ambisi dan tendensi di mata Yayan, tapi tidak dibarengi dengan usaha keluar untuk mencari kerja"


Susi hanya mendengarkan penjelasan Bu Dewi tentang Yayan, tanpa komentar apapun. Pandangannya hanya tertuju pada Yayan. Setelah mendapat perintah dari Bu Dewi, Yayan langsung beranjak dari taman dan berpindah ke kebun, dia terlihat mulai sibuk membersihkan rumput. Susi dan Bu dewi masuk ke dalam bangunan yang bernuansa bambu tadi. Mereka menikmati rokok masing - masing, tanpa ada pembicaraan. Bu Dewi tenggelam dengan pikirannya, Susipun hanya mengobral pandangan di sekitar ruangan bambu itu. Ada kursi dan meja kerja, lengkap dengan komputer dan printernya, ruangan yang berisi peralatan kerja kantor itu, hanya berukuran 3 x3 meter, di pisah oleh partisi bambu, didepannya ada kursi tamu. sesekali Susi melirik ke arah Bu Dewi, yang sedari tadi hanya duduk bersila di balai - balai yang ada di depan ruang tamu. Bu Dewi duduk dengan posisi bersila dan mulutnya komat - kamit, namun demikian, rokok yang bertengger di jemarinya tidak di lepaskan, dia rajin keluar masuk mulutnya. Susi tidak mau berlama - lama melihat pemandangan itu, takut kalau - kalau bu Dewi membaca ketidak fahaman akan apa yang tengah dilakukan bu Dewi. Dia hanya duduk - duduk diruang tamu. Pikirannya menerawang kemana - mana, dan berhenti pada nama pemuda yang memberikan uang di bis itu.


"Siapa si Wayan itu...? kenapa dia begitu baik padaku..? bagaimanapun juga, aku harus membalas kebaikan dia. Apapun tujuan dia, aku tidak ambil pusing, yang jelas, aku sudah berhutang budi padanya"

Susi melangkah kearah meja kantor, dia mencari kertas dan pena, beberapa menit kemudian, tangan Susi sudah menari-nari dengan pena diatas kertas.


"Ma'afkan sikap kasarku di bis dulu, kamu betul, waktu itu aku memang kacau, kalut dan uring-uringan. Tapi, aku sangat berterima kasih padamu, karena memang aku sangat membutuhkan uang itu. Suatu saat kalau aku sudah kerja, aku pasti mengembalikan uangmu..............................."


Susi menulis singkat surat untuk wayan, tiba - tiba bu Dewi sudah berada disampingnya,

"jangan lupa memberi alamat yang lengkap rumah ini Sus, mami yakin kalau surat ini terkirim dia pasti segera membalas, dia pemuda yang baik"


suara bu Dewi membuat Susi terkejut, Dan heran dengan komentar Bu Dewi soal Wayan. Namun Susi tidak mau ambil pusing dengan keheranannya. Segera dia melipat surat itu, dan memasukkan ke amplop.

"Suruh Fatim ke kantor pos, biar langsung terkirim hari ini"


Fatim adalah nama pembantu bu Dewi, Bu Dewi menekan tombol bel yang berbunyi di rumah induk, sepuluh menit kemudian fatim sudah ada di depan Bu Dewi. dan bu Dewi langsung menyuruhnya ke kantor pos. Kemudian mengajak Susi masuk rumah, karena hari sudah menjelang sore.

----------------------------------





Pagi ini Cak Momot pulang, Susi sudah deg - degan menunggu apa yang akan ditanyakan, atau disampaikan Cak Momot kepadanya. terdengar pintu garasi terbuka, dan tampak mobil sedan warna hitam masuk ke garasi, sejurus kemudian, seorang lelaki berperawakan kekar, bertubuh agak pendek, rambutnya sudah tumbuh uban, masuk keruang keluarga. kebetulan sekarang hari Minggu, tanpa ganti pakaian, Cak Momot duduk lesehan sambil melepas kaus kaki, Bu Dewi segera menyusul dengan membawa secangkir teh. Cak Momot memerintahkan Bu Dewi untuk mengumpulkan anak - anak di ruang keluarga. Dewo, Uli , dan Dito dalam sekejap sudah duduk didepan Cak Momot. Susi yang sudah siap dari tadi di ruang keluarga, hanya duduk tertunduk. Ada rasa takut dan grogi.



"Kamu bandel Ya...!?, kamu liar ya...!? kalau tidak bandel, kalau tidak liar, kenapa kamu sampai lari dari rumah..!? pasti kamu sudah melakukan kesalah fatal sampai - sampai kamu kabur dari rumah...!



pertanyaan dan tuduhan kasar yang keluar dari mulut cak Momot sangat menusuk telinga Susi. Panas mendengar semua pertanyaan dan pernyataan itu, membuat Susi tidak bisa berkata apa-apa. lidahnya kelu, matanyapun mengimbangi dengan belalak lebar. Susi benar - benar dibuat tidak nyaman, namun kemudian kalimat - kalimat yang bersifat perintah dan memohon, keluar dari mulut cak Momot.



"Sus, kamu sudah masuk diruang lingkup keluarga besar BUDI PRAWIRO SUTOMO, kebetulan papi belum punya anak angkat perempuan. Papi nggak mau tahu soal keluargamu disana, yang jelas, kamu sudah masuk di keluarga ini. Kalau anak angkat papi yang sebelumnya belum ada yang masuk dalam kartu keluarga, maka, untuk kamu, malam ini papi akan uruskan kartu keluarga baru, dan ada namamu sebagi anak sulung disitu, sore nanti, ajari adik - adikmu ngaji, terutama si Dito, dan besok pagi kamu temui papi di kantor belakang, ada tugas yang harus kamu selesaikan..."



Tanpa melihat ekspresi wajah Susi, cak Momot langsug beranjak ke kamar mandi, dan rapat kecil di ruang keluarga bubar begitu saja. Anak - anak kembali ke kesibukan mereka masing - masing, Uli dengan bacaan novelnya, Dewo dan Dito kembali main game di kamar mereka. Tinggal Susi dan Bu Dewi, Susi memang merasa sangat dekat dengan Bu Dewi, dia merasa seperti tenang kalau ada Bu Dewi, mereka memang kompak dalam dua hari ini, malam mereka ngobrol sampailarut, pagi dan siangpun banyak waktu yang mereka habiskan bersama. Dari apa yang disampaikan cak Momot kepada Susi, Bu Dewi hanya senyum penuh arti, yang menandakan sangat menyetujui apa yang telah disampaikan Cak Momot. Setelah diskusi kecil dengan Bu Dewi, akhirnya Susi pamit ke kamar.



"Mengajar ngaji...? Anak Sulung....? apa yang harus aku lakukan...? Aku memang bisa membaca al-qur'an, tapi kalau untuk mengajar...? dan, kenapa begitu cepat Cak Momot memutuskan aku sebagai anak tertua dalam keluarga mereka....? tidakkah mereka khawatir, kalau sewaktu - waktu aku pergi dari rumah ini, dengan membawa harta benda mereka..? Tugas apa pula yang akan diberikan padaku..?



Berkecamuk lagi pikiran Susi, bingung, resah dan gelisah. Bagaimana tidak..? tiba - tiba saja dia jadi anak orang lain, yang belum pernah dia kenal. Seburuk apapun kondisi keluarga Susi disana, tidak akan tergantikan posisinya dengan keluarga lain di hati Susi yang paling dalam. Walaupun saat ini dia sedang bermasalah dengan orang tua, tapi bukan berarti dia bisa begitu saja berpaling ke keluarga lain. Susi sangat mencintai orang tuanya. Namun Demikian, Susi berusaha tenang, karena sampai kapanpun, orang tua kandungnya tetap menguasai ruang di hatinya.




"Mengaji......, kenapa setelah cak Momot menyuruh aku mengajari anak-anaknya ngaji, aku merasa ada sesuatu yang mengusap ruchaniku...?, sudah lama sekali aku tidak melakukan kewajibanku sebagai hamba allah. Selama ini, aku sibuk dengan permainanku, tidak pernah aku melakukan apa yang aku harus lakukan sebagai bentuk tanggung jawabku kepada yang telah mencipatakan aku...., banyak debu yang sudah mengotori hati dan jiwaku"




Sepertinya, ada desiran halus yang lewat di hati Susi. Dan, tiba - tiba saja Susi bangun dari tempat tidur, berjalan mantap ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian, terdengar gemericik air, diawali dengan membasuh tangan, berkumur dan membersihkan hidung, Susi mulai melafalkan niat wudlu dengan dibarengan usapan air keseluruah wajah, lalu berturut - turut tangan, rambut, telinga, dan berakhir di kaki. Sudah lama Susi tidak melakukan itu. Sungguh, betapa sejuk aliran air wudlu itu terasa di jiwa dan hati Susi. Ada rasa sesal, karena sudah lama Susi meninggalkan kewajiban Sholat. Tapi, setelah itu Susi bingung, karena dia tidak membawa mukenah. Namun Susi legah karena bisa pinjam si Fatim. Sengaja dia tidak pinjam Bu Dewi, karena Susi sudah berkeliling rumah itu, namun Susi tidak menemukan musholla keluarga. Mungkin Bu Dewi melakukan kewajiban beragama hanya didalam kamar.



"Dito....., kakak awali dengan pengenalan huruf hijaiyah dulu ya..? kemudian cara baca dan tajwidnya...?



Sore itu Susi mulai mengajar ngaji Dito, Dito masih kelas dua SD, jadi Susi berusaha bertutur kata lebih lembut..,



"Kak, Dito di sekolah sudah di beri pelajaran hafalan surat - surat pendek, jadi sekarang tinggal ngelanjut aja, Dito nggak mau kalau harus mengulang..!"



Rupanya Dito tidak berkenan dengan tawaran Susi. Akhirnya, Susi mengikuti kemauan Dito. Susi melihat, Dito anaknya keras, dan terkesan suka memerintah. Tapi Susi bisa merasakan, dia sedikit manja. Setelah mengajari Dito, Susi memanggil Uli, tapi Uli masih berhalangan, dia sudah kelas dua SMP, dan sudah dapat haid, sedangkan Dewo tidak mau diajari Susi, mungkin dia malu, Dewo sudah kelas dua SMA. karena dia sudah remaja, dan Susi melihat, Dewo anaknya disiplin, Susi tidak mau memaksa Dewo untuk belajar ngaji, mungkin Dewo sudah dapat porsi lebih banyak dalam pelajaran agama di sekolah. Praktis sore itu Susi hanya mengajar Dito.


-------------------------------------------------


Pagi ini Susi menghadap Cak Momot di kantor. Rupanya, Cak Momot Sudah menyiapkan setumpuk berkas untuk diserahkan kepada Susi.



"Sus, ini berkas - berkas pekerjaan Papi selama tiga bulan. Oh ya, papi punya usaha agrobis dan pupuk. Selama ini, urusan administrasi di kantor ini, papi tangani sendiri. Sekarang, sudah ada kamu, dan papi tidak mau kamu kerja ditempat lain. Kebetulan saat ini usaha papi mulai berkembang, hanya saja, papi butuh bantuan modal dari bank, untuk itu, papi perintahkan kamu membuat proposal pengajuan kredit di bank, dengan dasar - dasar transaksi yang bisa kamu lihat di berkas - berkas yang papi berikan ini. Papi tidak mau dengar kamu bilang tidak bisa. Jadi, hari ini kamu mulai bekerja, buat laporan keuangan papi selama tiga bulan. Ya sudah, papi mau berangkat ke magelang, besok pagi papi pulang, dan papi harap laporan keuangan serta draft pengajuan kredit di bangk sudah ada di meja papi, jadi papi tinggal tanda tangan"



Seperti biasa, tanpa menunggu reaksi atau pertanyaan dari Susi, cak Momot berlalu begitu saja. Sepeninggal Cak Momot, Susi diam beberapa saat, pelan - pelan dia buka map yang berisi transaksi dan bukti - bukti pengeluaran kas serta purchase order dari customer selama tiga bulan. Setelah mempelajari semuanya, Susi mulai mengkonsep pekerjaannya. Susi menghentikan pekerjaannya pada saat adzan dzuhur terdengar. Bergegas dia kerumah untuk sholat dan makan siang, lalu kembali lagi ke kantor. Begitu sampai di ruang kerja, Susi dikejutkan dengan adanya Yayan, yang dengan santai duduk di kursi kerjanya.



"Enak ya kamu, baru saja diterima dikeluarga ini, sudah diberi percaya, dan diberi pekerjaan. Sedangkan aku...? sudah bertahun - tahun aku menjadi bagian keluarga ini, tapi, sampai sekarang aku belum diberi apa - apa. Aku hanya dijadikan tukang kebun disini...! Tapi, tidak apa - apa.., suatu saat kamu akan pergi dengan sendirinya, dan satu persatu keluarga ini akan habis...! lagi pula.., kamu belum tahu, bagaimana pola hidup keluarga ini. Aku peringatkan kamu, sebelum kamu rusak atau sebelum kamu hancur, cepat - cepat kamu tinggalkan rumah ini...!"



setelah bicara yang sarat dengan nada intimidasi itu, Yayan beranjak dari kursinya, dan kembali menata kebun di depan kantor. Ada sedikit rasa takut yang sempat lewat di hati susi, tapi Susi tidak memberi kesempatan rasa takut itu singgah.



"Kepalang tanggung, aku sudah jauh dari rumah, jauh dari orang tua, dengan tujuan dan harapan mencapai kehidupan yang lebih baik. Aku harus berani menghadapi semuanya dengan keyakinan yang mantap, bahwa semua ada yang mengatur, aku akan lebih meningkatkan kepasrahan pada yang kuasa. Bismillahirrahmanirrahhiim, aku niat bekerja, untuk menata masa depan"



Setelah memotivasi dirinya sendiri, Susi mulai lagi mengkonsep pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini. Semua ucapan Yayan, dibiarkan berlalu begitu saja. Susi tidak akan bilang kepada siapapun. Akhirnya, setelah lepas isya', laporan semua bentuk laporan sudah diselesaikan, begitu juga dengan proposal pengajuan kreditnya. Terpaksa hari ini dia absen mengajar ngaji "adik - adik"nya. Susi merapikan semua berkas yang berserakan di mejanya, lalu disimpan di laci meja dan di kuncinya. Ada rasa khawatir yang menyelinap, kalau - kalau si Yayan mengacaukan apa yang telah dikerjakannya hari ini. Setelah mengunci laci meja, Susi kembali kerumah, langsung ambil air wudlu untuk menunaikan sholat isya'. Setelah itu, dia rebahan dikamarnya. Tiba - tiba dia teringat Ardi. Sudah hampir seminggu dia di Jogya, Susi merasa sudah waktunya dia menghubungi Ardi. Susi keruang keluarga, dan meminta ijin bu Dewi untuk memakai telphon, begitu dapat ijin, Susi langsung mendial nomor telphon rumah Ardi yang masih melekat diingatannya.



"Hallo..., Assalamu'alaikuum..., bisa bicara dengan Ardi...?"



Susi mengawali pembicaraan di telphon dg si penerima, rupanya Ardi tidak ada di rumah, pembantunya memberikan nomor telphon restoran Ardi. Segera Susi mendial nomor itu. setelah menu, meunggu beberapa saat, terdengar suara laki - laki yang sudah tidak asing ditelinga Susi. Rupanya Ardi sendiri yang mengangkat telphon itu.



"Ar, ini aku, Susi.., bagaimana kabarmu Ar...?



"Wah ngimpi aku yo Sus...?, tiba - tiba nongol suaramu...? Kabarku apik - apik wae Sus.., kamu sendiri gimana...?



Aku baik - baik saja Ar.., hanya saja.., saat ini, aku tidak ada di rumah. Aku jauh sekali dari rumah..,



"Lho...maksudmu piye...? kamu kos, gitu...? memang kamu sekarang dimana? dan kerja apa...?



"ya... bisalah dikatakan kos, hanya saja tempatku sekarang, jauh dari rumah, tapi dekat dengan rumahmu"



"Sik to Sus, aku ra paham..., maksudmu..., kamu di Jogya....?"



"Tepat, aku sekarang di Jogya di jalan mangkubumi Ar..."


Susi menyebutkan alamat rumah bu Dewi, setelah mendapatkan alamat, kontan saja Ardi menutup telphon, tanpa ada kalimat penutup apa - apa. Selang setengah jam, terdengar deru motor didepan rumah. Begitu bel pagar berbunyi, Fatim langsung membuka pintu. Sayup - sayup terdengar suara Ardi menanyakan kebenaran soal Susi, apa betul dia tinggal di rumah ini. Fatim mengiyakan, dan mempersilahkan Ardi masuk.., dilanjutkan dengan memanggil Susi. Tanpa menunggu Susi duduk, Ardi langsung menyerbu Susi dengan aneka macam pertanyaan.



"Uedaan..kowe Sus..!, ora enek kabar, moro - moro muncul ning Jogya, ora mampir.., Kok yo aneh...,! aku iki kan trisnamu, kok yo ora marani aku..., kenapa Sus...? gak paham aku Sus...,!"



"Aduh Ar..., nggak usah teriak - teriak gitu...!, aku ngagk budek...! Aku sengaja nggak ngabari kamu, nggak datang kerumahmu, karena aku merasa aku ini bukan siapa - siapamu. Lagian..., aku belum pernah janji apa - apa ke kamu. Aku juga nggak pernah berharap apa - apa ke kamu, Jadi, menurutku..., aku lebih baik ketempat lain, bukan rumahmu..., kalau aku kerumahmu, belum tentu aku akan jadi lebih baik... Ma'af, bukannya aku tidak percaya, tapi aku menjaga.., aku jauh dari rumah, aku tidak punya apa - apa, dan siapa - siapa.., aku hanya punya kehormatan dan harga diri yang harus kujaga.., kalau aku kerumahmu..., apa aku bisa menjaga itu semua...? dan, apakah aku ada jaminan untuk bisa lebih baik...?, Sudahlah Ar..., yang penting, aku sudah hubungi kamu.., dan kamu sudah tahu tempat tinggalku..., kita bisa memulainya lagi, ma'afkan aku Ar..."



"Wisn Sus, aku ngerti..., tapi aku ora iso ngerteni..., menurutku, langkah yang seperti itu, tidak mencerminkan sedikitpun rasa cinta dan kepercayaanmu padaku. Aku tidak bisa terima itu Sus..., Artinya..., kita bukan memulai lagi, tapi harus mengakhiri..., karena..., terus terang, aku tersinggung Sus..., jelas sekali kamu meremehkan aku. Ya sudah Sus, aku pamit. Mungkin, setelah ini, aku tidak akan menemui kamu lagi"



Setelah mengucapkan kalimat yang terakhir, Ardi langsung berdiri, dan berjalan keluar. Susi hanya terdiam, dan tidak mencegah sama sekali. Tapi, Susi legah sudah menghubungi Ardi. Meskipun reaksi Ardi meleset jauh dari gambarannya, Susi berusaha menerimanya. Sejak saat itu, hubungan Susi dan Ardi betul - betul jauh.., ironis sekali, mereka berdua, dekat dimata.., jauh dihati.


@@@@@@@@@@@@@@

*********************

Bagaiman kelanjutan cerita Susi...? ikuti ceritanya di episode Susi dan kota Jogya bagian ke III



Minggu, 15 Maret 2009

Susi dan kota Jogya I

"dia itu bisa apa...? kerjaan tidak ada, pacar tidak punya, cuma bisa bikin malu aja, dia anak gadis yang tidak berguna..."

Suara percakapan kedua orangtuanya, didengar jelas oleh Susi, telinganya terasa panas, dan titik2 bening mulai berjatuhan di pipinya, seketika itu juga timbul niat untuk segera meninggalkan rumah orang tuanya, Susi belum tahu, kemana harus pergi, semalaman dia tidak tidur, dia berkemas baju dan mental. Hatinya berkecamuk tidak karuan, antara pergi dan tidak. Perang batin akhirnya dimenangkan oleh keputusan untuk pergi dari rumah.

Akhirnya, tepat pukul 3.00 WIb, Susi meninggalkan rumah, kebetulan rumah Susi dekat sekali dengan terminal bus antar kota. Bawa baju seadanya, dan uang yang hanya bisa dipakai makan sehari, karena itu yang dia punya.

Setibanya di terminal, susi langsung saja naik bus, tanpa tanya tujuan kemana bus itu jalan. Hatinya diliputi rasa sedih, jengkel, dan perasaan - perasaan sensi lainnya. Tapi, air mata sudah tidak seenaknya lagi membasahi pipi, ada rasa tidak mengerti dihatinya, kenapa orang tuanya bisa setega itu...? Pikiran Susi mengembara kemana - mana,


"Mulai hari ini saya berhenti...!, saya tidak bisa diperlakukan tidak adil...! saya dan Helen punya tingkat pendidikan sama, dikantorpun punya posisi yang sama, Dan, yang paling harus dingat, Bapaklah yang meminta saya untuk kerja disini, bukan saya yang merengek - rengek untuk bisa kerja di kantor bapak...! Dan, saya paling tidak suka diperintah - perintah yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saya...! Puih....!!! jangan dikira saya mau begitu saja membersihkan meja bekas helen makan....! Jangan mentang-mentang Helen dan Bapak bermata sipit, lalu seenaknya main perintah kepada saya, saya tidak terlalu bergantung isi perut ke Bapak...! Bukan disini saja ladang mencari makan...!"

Kalimat - kalimat kasar itu meluncur pedas dari mulut Susi yang dilontarkan kepada Pak Nathan, pemilik perusahaan tempat dia bekerja, dan sejak itu Susi tidak lagi bekerja, dia sempat nganggur. Belum genap dua bulan Susi nganggur, sudah dia dengar pembicaraan yang menyakitkan kedua orang tuanya tentang dia.

"Mau kemana...?"

Suara pemuda yang berdiri didepannya itu menghentikan lamunannya

" Bukan urusanmu..."!

jawab Susi seenaknya, tanpa memandang wajah pemuda itu, segera kursi disebelahnya di blokir dengan tas bawaan, agar si pemuda tidak duduk disebelahnya.

"Kamu kok terlihat kacau banget...?, ada apa...? kamu lari dari rumah ya...?"

"Ih...! usil banget sih...! mau tahu urusan orang aja...! aku mau minggat kek....!, aku kacau kek...! bukan urasanmu....! Sudah! jangan ganggu aku...!"

jawab Susi dengan ketus.

Akhirnya, pemuda itu duduk didepan Susi, sesekali dia menoleh kearah tempat Susi duduk, Entah apa yang ada dibenak pemuda itu. Yang jelas, susi merasa risih dengan perhatian pemuda itu, walaupun jujur dihati dia menilai, bahwa tidak ada niat jelek yang terpancar dari mata pemuda itu. Tapi, karena dia sedang ruwet, dan tidak mau membuka komunikasi dengan siapapun, jadilah Susi gadis super cuek, apatis dan semaunya dia. Pandangan matanya tidak beralih sama sekali dari kaca jendela bus. Mungkin dengan mengalihkan pandangan kearah jendela, dia bisa membebaskan pikirannya untuk berkelana kemana- kemana.

"Karcisnya mbak..",

suara kondektur membuyarkan kelananya, tanpa basa - basi Susi langsung menyodorkan lembaran duapuluh ribu ke kondektur, hanya selembar itu yang dia punya.

"Kemana mbak?"

"Bus ini berhenti dimana?" tanya Susi balik.

"Jogya mbak.."
"ya udah, aku turun jogya".


Dari selembar duapuluh ribu tadi, susi masih menerima kembalian, setelah itu dia kembali ke jendela dan menyusun lagi potongan - potongan lamunanya yang sempat buyar karena pertanyaan kondektur.

Susi melirik ke arah kursi yang ditempati tasnya, bus yang ditumpangi kebetulan agak sepi, jadi dengan merdeka tas Susi menguasai satu kursi. Dia cuma membawa dua stel pakaian, tiga dengan yang dikenakan, kaos oblong dan jins belel yang robek di lutut. Rambutnyapun dibiarkan terurai tidak beraturan, dengan penampilan seperti itu, Susi betul - betul terlihat kacau, tidak lepas dari penampilan anak jalanan. Maklum, dia tadi meninggalkan rumah tanpa cuci muka, tanpa sisir apalagi pakai bedak.., Sepanjang jalan ke terminal Susi hanya menangis, di tumpahkan semua air matanya. Dan, cairan itu sudah betul - betul habis pada saat Susi naik Bis. Dia paksakan wajahnya untuk terlihat kuat.

"Madiun - madiun, yang turun madiun siap -siap...!,

penumpang yang bertujuan madiun sontak berdiri, tanpa sengaja pandangan mata susi bersipuruk dengan mata pemuda itu. Susi cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Pada saat lewat dikursi tempat Susi duduk, pemuda itu melemparkan bungkus permen, kemudian mengangkat kedua tangannya dan memohon agar bungkus permen itu tidak dibuang. Susi sempat mendengar pembicaraan pemuda itu dengan konduktur.

" Jaga gadis itu bang, saya titip dia sampai Jogya ",

"sok banget dia..! memang aku ini siapanya...? adik bukan, kakak bukan, apalagi pacar...! bisa - bisanya dia pakai acara nitip ke kondektur segala...!"

Ocehan Susi dalam hati, yang tidak suka dengan sikap pemuda itu. Sekali lagi pemuda itu memberi kode dengan kedua tangannya kepada Susi, agar bungkus permen tadi tidak dibuang, kemudian dia melambai tanda berpisah, Susi hanya membalas dengan tatapan mata tajam, tanpa senyum, pandangan matanya tidak lepas dari pemuda itu sampai akhirnya pemuda itu menghilang.Hampir lupa susi dengan bungkus permen itu, pada saat kondektur teriak - teriak bis dah sampai Solo, Susi baru ingat dengan bungkus permen itu. Malas - malasan dia membuka, namun, Susi dikejutkan dengan isinya, lembaran uang, dan ada secarik kertas yang bertuliskan nama dan alamat pemuda itu.

"Ah, apa yang dipikirkan pemuda itu tentan aku?, kenapa dia tinggalkan ini untukku?, begitu ibakah penampilanku? sampai - sampai pemuda itu menaruh kasihan padaku? "

"Kasihan....?" Terlalu naif kalau dia kunilai seperti itu, bisa saja dia lakukan ini dengan tumpukan pamrih. Tapi, bagaimanapun juga, aku berhutang Budi pada pemuda itu, aku sangat tertolong dengan lembaran rupiah yang diberikan padaku."

Susi belum juga cair dalam menilai negatif terhadap pemuda itu

"I Wayan Bagiarta", nama pemuda itu, lengkap dengan alamatnya. "Ya sudah, aku sudah sampai Yogya, aku harus konsentrasi harus kemana. Soal pemuda itu, nanti saja kupikirkan, toh aku dah kantongi nama dan alamat pemuda itu. Kalau dah dapat kerjaan dan berpenghasilan, aku pasti membayar semua nilai rupiah yang telah diberikan pemuda itu padaku"

pikir Susi, dan bergegas mengambil tasnya, lalu turun meninggalkan bis. Susi sempat diam beberapa jam di terminal umbulharjo, bingung menyelimuti pikirannya, tidak tahu harus kemana. Sebenarnya dia saat itu punya pacar di Jogya, sejak SMA dulu Susi menjalin hubungan dengan Ardi, namun demikian, tidak ada dibenak Susi untuk menghubungi atau datang ke rumah Ardi. Susi dah hafal siapa dan bagaimana Ardi, begitu juga dengan ibu Ardi. Keputusannya bulat untuk tidak menghubungi Ardi, memang ada prinsip yang dia pegang, selama masih berstatus pacar, Susi tidak akan pernah datang ke rumah pacar, apapun alasannya. Sedikit idealis memang, tapi itulah Susi, dia tidak mau masa depannya hancur karena mendatangi rumah pacar. Negatif sekali yang Susi pikirkan tentang pacarnya, bagaimana tidak..? Selama di Surabaya, Ardi hanya mengisi hari - harinya dengan minum2an keras dan berjudi, Susi tahu persis karena Ardi tinggal disebelah rumah orang tuanya.

Bapak Ardi adalah seorang pengusaha travel di Surabaya, sedangkan Ardi adalah anak dari istri kedua, yang tinggal di Yogya. Setiap liburan sekolah, Ardi selalu ke Surabaya, dan menghabiskan waktunya dengan minum, berjudi serta berhura - hura dengan komunitas pemabuk lainnya. Tapi, setelah mengenal Susi, Ardi banyak berubah, dia bahkan berani janji tidak akan menyentuh minuman dan perjudi lagi. Susi benar - benar telah merubah kebiasaan Ardi, lambat laun, Ardi telah terbiasa dengan kehidupan Susi. Lulus SMA, Ardi ke Surabaya, dengan harapan bisa dekat dengan Susi., Ardi mulai berani mengungkapkan cintanya ke Susi. susi sendiri mulai jatuh hati kepada Ardi, jadilah mereka sepasang kekasih.., tapi hubungan mereka hanya diketahui oleh keluarga Ardi, sedangkan orang tua susi tidak pernah mengetahui, bahkan sampai Ardi kembali ke Jogya, untuk kuliah, dan meneruskan usaha restoran ibunya, Susi masih menyembunyikan hubungan mereka dari orang tua, alasan susi menyembunyikan itu semua karena ada rasa takut tidak ada restu, mengingat orang tua Susi sangat membenci kelakuan Ardi dulu yang suka minum dan berjudi.

Kepulangan Ardi ke Jogya dengan membawa harapan kelak bisa kembali ke Surabaya untuk hidup bersama Susi. Susi melepas Ardi di terminal, tanpa janji atau ucapan apapun mengiringi kepergian Ardi. Susi memang tidak pernah berharap lebih dari hubungan itu. Karena Susi masih ingin bekerja, membantu orang tua. Maklum, keluarga Susi tergolong keluarga yang tidak berkecukupan, semua serba pas - pasan. Hubungan asmara yang dijalinnya dengan Ardi tidak pernah di buat serius, Susi memang menganggap Ardi sebagi kekasih, tapi Susi betul - betul tidak mau bergantung kepada Ardi. Bahkan surat - surat yang dikirim Ardi untuk Susi waktu itu, tidak pernah dibalasnya. Susi benar - benar menggantung hubungannya dengan Ardi,


"becak Mbak...?" Suara tukang becak membuyarkan untaian lamunan dia tentang Ardi. tiba - tiba saja dia teringat, bahwa dia pernah kenalan dengan seorang ibu di Bis, waktu itu Susi dalam perjalan ke Jogya, membawa turis, sampai di Solo, ada seorang ibu dan anaknya naik, meskipun sudak tidak ada lagi kursi, kondektur tetap saja memaksa ibu itu naik. Susi tergerak untuk memberikan kursinya kepada ibu itu.., dengan mimik sungguh - sungguh, ibu itu mengucapkan rasa terima kasihnya, berulang - ulang...,

"Terima kasih dik"

sekali lagi ibu itu mengucapkan rasa terima kasihnya pada saat bis sampai di jogya. Sebelum turun, ibu itu sempat meberi kartu nama dan berkata

"Suatu saat, adik akan datang ke rumah saya, saya yakin itu"

"ah, kenapa pikiranku jadi kemana - mana..?"

gumam Susi, dia langsung mengiyakan tawaran tukang becak itu, mantap Susi menyebutkan alamat yang dituju, dia bergegas bertengger di atas becak, ada perasaan riang dihatinya, begitu kartu nama yang diberikan ibu itu masih tersimpan rapi didompet. Dra. Dewi Damayanti nama yang tertera di kartu itu seperti mengalirkan rasa sejuk di hatinya.

"ke Nitikan pak.."

pinta Susi kepada tukang becak, itu alamat bu Dewi.

Sampailah Susi di rumah bu Dewi, rumah yang asri, dengan tatanan teras sejuk berhias bunga dengan nuansa dedaunan lebat, terkesan teduh dan segar. Begitu membuka pintu pagar, susi di kejutkan dengan suara wanita paroh baya bergaya santai dia menegur Susi,

"sampai juga kamu disini, langsung saja masuk, mandi dan saya tunggu kamu di ruang makan, Oh ya, kamarmu sudah disiapkan..., cepat mandi sana gih...!"


Susi hanya bisa bengong didepan pintu, dia sangat tidak mengerti, kenapa bu Dewi seolah - olah sudah mengetahui rencana kedatangannya? kenapa tidak tersirat rasa terkejut dengan kedatangannya...? berbagai pertanyaan berkecamuk dibenak susi, sampai akhirnya terhenti dengan ucapan bu Dewi.


"tunggu apa lagi...?, ayo masuk..., cepat mandi sana...., badanmu dekil banget, kusam dan bau, mami yakin, seharian kamu tidak tersentuh air..."


"i...iya bu..."
jawab Susi singkat, dan dengan langkah ragu dia masuk kerumah itu, serta dibarengi pertanyaan - pertanyaan yang gemuruh riuh ribut di hati dan pikirannya, seolah - olah meminta otak Susi untuk segera mencarikan jawaban dari sikap Bu Dewi yang tidak terkejut atau heran atas kedatanga Susi. Ditambah lagi kamar yang sudah disiapkan untuknya...., kehadiran Susi dirumah itu sepertinya sudah dinantikan.


"waduuh...., topik apalagi ini? bingung aku...,"
gerutu Susi dalam hati. Langkah Susi berat menuju kamar itu, ada rasa ragu, cemas dan setumpuk perasaan aneh yang campur aduk. Namun, susi masuk juga ke kamar yang sudah disiapkan untuknya. Kamar dengan ukuran lumayan luas, tempat tidur yang bagus, warnanya senada dengan almari yang gagah berdiri disamping tempat tidur. Jauh sekali dengan kondisi kamar Susi di rumah, sudah sempit..., dihuni berdua lagi. Yah, Susi sekamar dengan adiknya dirumah sana.


Setelah mengeluarkan isi tas, dan meletakkan di almari, Susi bergegas mandi. Kamar mandi sudah ada didalam kamar. handuk, sikat gigi, shampoo,sabun, semua sudah disiapkan, dan masih terbungkus...,


"ah..., ketemu juga aku dengan air, duh segernya....",


Susi menikmati guyuran air dari shower, yang belum pernah ditemuinya. Ada rasa senang menyembul ditengah hatinya yang sedang bercengkerama dengan kebingungan tentang apa yang dia dapatkan di rumah itu, juga sikap bu Dewi yang begitu siap menerima kedatangannya,




Susi baru saja selesai ketika tiba - tiba ada ketukan dipintu kamarnya,


"Di tunggu ibu mbaak..."
suara dari luar mengejutkan Susi yang tengah mengeringkan rambutnya, tanpa sisir dan bedak Susi menuju keruang makan, bersama pembantu ibu Dewi, ternyata ruang makan ada di belakang kamar Susi.


"Ayo Susi, segera isi perutmu, jangan dibiarkan kosong terlalu lama, mami nggak mau kamu sakit, perjalananmu masih panjang, dan kamu sangat dibutuhkan disini"


"Dibutuhkan....?"
"aku dibutuhkan untuk apa...?
pertanyaan Susi hanya sampai ditenggorakan, tidak ada keberanian mengeluarkan pertanyaan itu, Susi akhirnya diam, menikmati makan siangnya dengan lahap. Setelah makan siang, Susi dibawa keruang santai, ruanganya enak untuk lesehan, matras-matras dilantai siap menunggu untuk diduduki. Dengan santai Bu Dewi duduk bersila, dan menyodorkan rokok untuk Susi.


"sudah....., gak usah malu, saya tahu kok kamu perokok.., santai aja..." celoteh Bu Dewi seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Susi".


"Hmmm, aku memang perokok, sejauh ini belum ada yang tahu tentang kebiasaanku itu, padahal sejak SMA aku sudah kenal rokok, namun karenya kepandaianku menyimpan rahasia itu, tak seorangpun yang tahu, Baik teman maupun keluarga.., tapi ibu satu ini....? punya kelebihan apa sih dia...? mungkin penampilan membuat bu Dewi mudah menebak kebiasaanku, kenapa aku harus bingung dengan kelebihan yang dimilikinya...?, yang penting sekarang aku sudah sampai di Jogya, dan aku harus pikirkan langkah selanjutnya, Aku tidak mungkin tinggal disini, ada keanehan yang kurasakan, entah aura apa.., yang jelas ada yang ganjil" Susi terus bermain dengan pikirannya...,


------------------------------------------------------------------------------------------------

- apa yang akan dialami Susi...?

- Bagaimana dengan I WAYAN BAGIARTA...?

- Bagaiman dengan Ardi....

nantikan JAWABANNYA DI "susi dan Jogy II"

Kamis, 12 Maret 2009

Rabu, 11 Maret 2009


Dan, pil pahit itu akhirnya kutelan juga, aku hanya berharap pil itu bisa larut, pelan tapi pasti menjalar keseluruh pembuluh darahku sampai akhirnya tidak terasa lagi rasa pahit itu. Namun toh, rasa pahit itu tetap bertengger dengan sombongnya di seantero hati, pikiran, dan jiwaku..., Mungkin harus kunetralkan dengan berbagai ramuan pemanis, sehingga rasa pahit yang mulai berbuah sakit itu menjadi terasa hambar dan akhirnya menjadi tawar.


Aku sudah terjebak pada situasi yang tidak ku inginkan, berbagai upaya sudah kulakukan untuk lari dari situasi ini, menghindari dengan segenap energi, tapi it's unless, akhirnya ku terjatuh juga, hanya satu tekadku, melanjutkan hidupku dengan kemasan baru namun tetap terkonsep rapi dalam balutan prinsipku, bahwa aku tidak akan mengganggu ketenangan orang lain, aku tidak pernah membeslah milik orang lain, atau aku ingin menari - nari diatas penderitaan orang lain, aku hanya wanita bodoh yang tidak bisa mengelak dari arogansi laki - laki.
Apakah ini sudah digariskan...? Aku tidak mengerti, yang ku pahami, pada dasarnya Allah ta'ala tidak pernah memberikan takdir sengsara kepada hambanya, akan menjadi terasa sengsara dan menderita kalau manusia menerima takdir dengan tidak diimbangi dengan sifat kona'ah dan memupuk pasrah kepada sang pencipta. Kuputuskan untuk menjalani semuanya dengan ikhlas, kucoba berkarya, berwira usaha sebagai bentuk variasiku dalam menjalani takdir.

Tidak ada lagi yang harus aku hindari, kujalani saja dengan langkah pasti, pasrah pada illahi robbi, dan lebih meningkatkan kwalitas diri, di tengah peliknya kondisi. Semoga limpahan maghfiroh penguasa langit dan bumi, senantiasa menyelimuti.

"


Tiba - tiba saja kumerasakan jengah dalam menghadapi semua kenyataan yang serba tidak menguntungkan ini, dan dengan sangat terpaksa kutelan saja pil pahit buah dari formulasi yang kuciptakan sendiri. Namun kusadar, apapun yang terjadi, rasa jengah itu harus pergi jauh - jauh dari hati dan pikiranku. Biarlah sirkulasi jiwaku berputar dengan rumusan - rumusan hidup yang sudah kuaplikasikan sebelumnya.

Krisis global beberapa bulan kemarin, masih sangat berdampak, dan mampu merobek layar bisnisku. Bagaimana tidak, ada rugi disitu. Namun, kumampu mengerem rasa sesal atas kerugian yang kualami, karena ternyata kondisi yang sama juga dialami banyak orang.

Sekarang, kucoba lagi bangkit, mengais sisa - sisa kharismaku dalam berebut rongsokan besi tua di ajang kompetisi pencarian barang tersebut. Step by step kucoba lagi follow up my old customer, dan berharap ada satu atau dua kontainer yang masih disiapkan untukku. Tentunya hanya dengan seizin yang Kuasa, ku mulai lagi bisnisku...,

Ah...! masih saja rasa jengah dan tidak bahagia menyesakkan dadaku. Ada apa...? ku berkaca di cermin kehidupan rumah tanggaku, mungkin itu yang membuatku merasa tidak beruntung, bukan soal bisnis...!,

Ada gumpalan sakit yang mulai menggunung, namun kupasrahkan pada yang maha agung, karena kumafhum, perjalananku masih tanggung. Aku sendiri tidak pernah berharap merasa tidak beruntung....,

beberapa tahun yang lalu, kuresmi berpredikat sebagai single parents.., tidak ada lagi sos0k yang berlebel suami atau ayah bagi anakku dalam keluarga. My sweet home hanya dihuni aku, anakku dan pembantu. Namun demikian..., ku merasa enjoy dengan kesendirianku, karena anakku betul - betul mampu menghalau rasa sedihku. Senyum, tawa dan candanya..., mampu membawaku terbang sampai ke langit biru.., Anakku, permataku...., dan limpahan dari segenap kasih sayangku.

Namun..., kebahagiaan itu terusik begitu saja, setelah kudapatkan fakta bahwa anakku sudah tergantung dengan seseorang yang tanpa sepengetahuanku, selalu datang dan berkunjung kerumah, disaat aku sedang beraktifitas diluar rumah. Putri kecilku, tiba - tiba saja menemukan figur seorang ayah yang dipanggilnya "abah..!". Aku tak mampu memahami, mengapa begitu cepat sosok itu melekat dalam ingatan dan hati anakku...? Duh..., apalagi ini...?

Singkat cerita, berangkat dari kedekatan abah dengan anakku, jadilah aku wanita yang menjadi pihak ketiga dalam rumah tangga orang...! huh...! sebuah kondisi yang kontras dengan prinsip hidup yang kujaga sejak dulu, namun, ku tak mampu keluar dari lingkaran itu, karena berbagai cara telah kutempuh untuk menghindari semuanya, sia - sia saja, ku telah kembali terkungkung lagi dengan ketidak kepastian. Ternyata hembusan angin bearoma kebebasan hanya kuhirup semampuku. Baru saja kulepas dari belenggu siksaan fisik dari seorang yang berlebel "suami", sekarang hadir lagi yang lain yang dengan mudah mampu menyadang predikat itu, kebodohan apalagi ini...? inikah wujud nyata rasa jengah itu...?

Mengapa harus "HOW TO SURVIVE...?

Wah.., berat sekali tema blogku, kesannya, kusenantiasa berada dalam lingkaran yang serba sulit dan kuselalu mampu keluar dari lingkaran itu. Fantastis...! padahal, semua yang ku alami terlewati datar-datar saja, biasa - biasa saja. Ku hanya seorang manusia, yang lahir dan besar dari lingkungan yang amat sangat sederhana, jauh dari ukuran cukup. Semua menjadi sangat luar biasa karena ku berada dilingkungan keluarga yang meskipun serba minim dalam mendapatkan fasilitas hidup, tapi ku besar dengan belai kasih sayang yang luar biasa dari orang tua. Mengapa ku katakan serba minim..? karena yang ada hari ini habis hari ini, besok mencari untuk bisa mendapatkan lagi..., ya..., itulah yang kulalui. Aku, kakak dan adik - adikku harus berjibaku dengan kerasnya hidup untuk melanjutkan kehidupan.
Subhanallah....!, Alhamdulillah......!, Allahu Akbar......!, hanya kalimat - kalimat thoyyibah itulah yang mampu ku ucapkan jika ku tengok historisku dulu, dan ku komphare dengan keadaanku saat ini. Yang kurasakan sekarang tidak pernah kuimpikan, dan tak terbersit sedikitpun dalam benakku dimasa lalu. Semua meluncur bak ski salju, lewat dengan cepat, berlalu dengan banyak liku. Hanya satu jawaban yang punya point, "Allah berkehendak" itu sudah cukup bagiku. Akhirnya, ku tak perlu bingung mencari jawaban lagi.
Saat ini, orientasiku dalam menjalani hidup adalah membesarkan anak, dan meningkatkan kwalitas hidup, baik dimata sesama manusia, maupun dihadapan sang Khaliq. Ku sudah merasa mapan, Ups...! "Mapan...?" rasanya kata itu tergambar dengan arti telah terpenuhi semua kebutuhan hidup, Primer, sekunder dan hal- hal mewah lain yang kunikmati. Tapi, hanya dengan menanamkan kata mapanlah ku mampu merawat dan menumbuhkan rasa syukurku kepada yang Kuasa, meskipun kujauh dari kondisi kemewahan, ternyata penerapan formulasi merasa mapan mampu membuat semua menjadi aman, tentram dan semakin memaknai arti hidup sebenarnya.
Namun, ku tak mau terjebak dengan kata - kata mapan yang ku formulasikan sendiri dalam menjalani kehidupanku. Untuk urusan di dunia, bolehlah ku terapkan rumus itu, tapi untuk bekal menghadap sang Chaliq, ku tak mampu menerapkan kata itu. Perjalananku masih jauh dan panjang, ku masih dihadapkan pada masalah - masalah pelik yang akhirnya harus kupertanggung jawabkan di hadapan Sang Maha Agung. Karena, ku masih hidup, dan hidup adalah perjalanan, yang dikemas dengan perjuangan serta permainan. Ku harus punya konsep yang brilliant untuk mengambil cara dalam menuju akhir perjuangan dan permainan itu, karena tujuan akhir dari itu semua hanyalah mampu menunjukkan tanggung jawab yang hakiki, kelak di hadapan yang maha kuasa nanti.
Semoga kumampu menuju final dari perjuangan dan permainanku. Ku harus menjadi diriku sendiri, sekarang dan dimasa yang akan datan, ku harus menjalani situasi yang tidak kuinginkan dengan kepasrahan yang sudah menjadi keharusan.
Semoga, ku tetap dalam koridor moral yang tertata, ditengah kondisiku yang tidak menyenangkan, dan tidak menguntungkan saat ini. Semoga ku benar - benar mampu menerapkan formulasi yang kuciptakan sendiri dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Itulah bentuk survival, tanpa attachment yang nyata, namun selalu ada, karena ku hanya wanita biasa, yang masih hidup di dunia dan masih memerlukan tenaga, untuk berkarya dan beribadah. Akhirnya....hanya ridhoNYA yang kuharap dalam setiap gerak dan langkah