Minggu, 22 Maret 2009

Susi dan kota Jogya II

"Sus, Besok Cak Momot pulang dari Magelang, kamu jangan kaget kalau tiba-tiba ada pertanyaan sedikit ekstrim yang keluar dari mulut Cak Momot",


"Siapa cak Momot bu..?"


"Mi.., panggil ibu Mami"


"hmm...ma'af, bu..eh Mi.., Siapa Cak Momot Mi"


"Cak Momot itu suami ibu, bertampang garang, bersuara keras, berbahasa kasar, tapi bergaya hidup santai, serta punya hati yang baik"


"bu...eh Mi..."


Rupanya Susi susah beradaptasi dengan panggilan Mami kepada Bu Dewi. Dia merasa kurang sreg memanggil ibu dengan sebutan Mami, tapi dia biasakan juga, kareana itu yang diinginkan oleh Bu Dewi.


"Mi..., sudah dua hari Susi disini, tidak ada pertanyaan dari Mami tentang penyebab kepergian Susi dari rumah, begitu juga Dewo, Uli dan Dito. Mereka biasa saja menerima Susi, dan..., yang membuat Susi tidak mengerti, kenapa mami seolah - olah tahu kalau Susi bakal datang ke rumah ini...?"


"Sudahlah Sus, tidak usah kamu pertanyakan itu, lambat laun kamu pasti akan temukan jawabannya sendiri. Oh ya, Mami punya empat anak angkat, laki - laki semua, yang tiga ada di tempat lain, yang satu tinggal di kos - kosan mami, ayo.., mami ajak kamu keliling bangunan di rumah mami"



Susi dan Bu Dewi berjalan mengelilingi bangunan rumah itu. Terrnyata, bangunan rumah bu Dewi sangat luas, dibelakang dinding menjulang tinggi yang dihubungkan dengan satu pintu ke rumah induk, ada bangunan kos-kosan putri, lantai dua, terkesan rapi dan bersih. Dengan jumlah kamar sebanyak dua puluh, kos - kosan bu Dewi terlihat sangat terawat dan asri. Di belakang kos-kosan ada bangunan bernuansa bambu, dan di depan bangunan terhampar taman dan kebun yang luas dan terawat. Taman dan kebun terbagi dua dengan luas tanah yang sama, dan di pisah dengan sungai buatan, sangat sejuk dan segar di mata..., cocok untuk Susi yang punya hoby menyendiri. Nampak seorang laki - laki tengah mengatur dan membersihkan taman, dia berperawakan tinggi. Susi tidak bisa melihat dengan jelas wajah lelaki itu, karena jaraknya memang lumayan jauh. Tiba - tiba dengan lantang bu Dewi berteriak,



"Yan...........!, coba kamu tengok yang disebelah selatan, ada banyak rumput liar yang mulai tumbuh...! bersihkan saja yang sebelah situ....! jangan terus-terusan di taman.....! coba kamu lihat, di sela - sela tanama kol itu, rumputnya dah mulai kelihatan.....!


"itu Yayan Sus, anak angkat mami yang tinggal di kos - kosan, dia mami bawa kerumah ini ketika masih SMA kelas dua. Sekarang, dia sudah tamat kuliah. Mami sengaja tidak ingin memberi pekerjaan di perusahaan, karena Mami ingin melihat usaha Yayan, dia terkesan ogah - ogahan, padahal dia sarjana tekhnik. karena itulah mami biarkan saja dia, mau jadi apa. Tapi masih untung, dia mau bersih - bersih taman dan kebun ini. Sekarang dia sudah beristri, istrinya jarang keluar kamar. Nggak tahulah Sus, mami lihat ada ambisi dan tendensi di mata Yayan, tapi tidak dibarengi dengan usaha keluar untuk mencari kerja"


Susi hanya mendengarkan penjelasan Bu Dewi tentang Yayan, tanpa komentar apapun. Pandangannya hanya tertuju pada Yayan. Setelah mendapat perintah dari Bu Dewi, Yayan langsung beranjak dari taman dan berpindah ke kebun, dia terlihat mulai sibuk membersihkan rumput. Susi dan Bu dewi masuk ke dalam bangunan yang bernuansa bambu tadi. Mereka menikmati rokok masing - masing, tanpa ada pembicaraan. Bu Dewi tenggelam dengan pikirannya, Susipun hanya mengobral pandangan di sekitar ruangan bambu itu. Ada kursi dan meja kerja, lengkap dengan komputer dan printernya, ruangan yang berisi peralatan kerja kantor itu, hanya berukuran 3 x3 meter, di pisah oleh partisi bambu, didepannya ada kursi tamu. sesekali Susi melirik ke arah Bu Dewi, yang sedari tadi hanya duduk bersila di balai - balai yang ada di depan ruang tamu. Bu Dewi duduk dengan posisi bersila dan mulutnya komat - kamit, namun demikian, rokok yang bertengger di jemarinya tidak di lepaskan, dia rajin keluar masuk mulutnya. Susi tidak mau berlama - lama melihat pemandangan itu, takut kalau - kalau bu Dewi membaca ketidak fahaman akan apa yang tengah dilakukan bu Dewi. Dia hanya duduk - duduk diruang tamu. Pikirannya menerawang kemana - mana, dan berhenti pada nama pemuda yang memberikan uang di bis itu.


"Siapa si Wayan itu...? kenapa dia begitu baik padaku..? bagaimanapun juga, aku harus membalas kebaikan dia. Apapun tujuan dia, aku tidak ambil pusing, yang jelas, aku sudah berhutang budi padanya"

Susi melangkah kearah meja kantor, dia mencari kertas dan pena, beberapa menit kemudian, tangan Susi sudah menari-nari dengan pena diatas kertas.


"Ma'afkan sikap kasarku di bis dulu, kamu betul, waktu itu aku memang kacau, kalut dan uring-uringan. Tapi, aku sangat berterima kasih padamu, karena memang aku sangat membutuhkan uang itu. Suatu saat kalau aku sudah kerja, aku pasti mengembalikan uangmu..............................."


Susi menulis singkat surat untuk wayan, tiba - tiba bu Dewi sudah berada disampingnya,

"jangan lupa memberi alamat yang lengkap rumah ini Sus, mami yakin kalau surat ini terkirim dia pasti segera membalas, dia pemuda yang baik"


suara bu Dewi membuat Susi terkejut, Dan heran dengan komentar Bu Dewi soal Wayan. Namun Susi tidak mau ambil pusing dengan keheranannya. Segera dia melipat surat itu, dan memasukkan ke amplop.

"Suruh Fatim ke kantor pos, biar langsung terkirim hari ini"


Fatim adalah nama pembantu bu Dewi, Bu Dewi menekan tombol bel yang berbunyi di rumah induk, sepuluh menit kemudian fatim sudah ada di depan Bu Dewi. dan bu Dewi langsung menyuruhnya ke kantor pos. Kemudian mengajak Susi masuk rumah, karena hari sudah menjelang sore.

----------------------------------





Pagi ini Cak Momot pulang, Susi sudah deg - degan menunggu apa yang akan ditanyakan, atau disampaikan Cak Momot kepadanya. terdengar pintu garasi terbuka, dan tampak mobil sedan warna hitam masuk ke garasi, sejurus kemudian, seorang lelaki berperawakan kekar, bertubuh agak pendek, rambutnya sudah tumbuh uban, masuk keruang keluarga. kebetulan sekarang hari Minggu, tanpa ganti pakaian, Cak Momot duduk lesehan sambil melepas kaus kaki, Bu Dewi segera menyusul dengan membawa secangkir teh. Cak Momot memerintahkan Bu Dewi untuk mengumpulkan anak - anak di ruang keluarga. Dewo, Uli , dan Dito dalam sekejap sudah duduk didepan Cak Momot. Susi yang sudah siap dari tadi di ruang keluarga, hanya duduk tertunduk. Ada rasa takut dan grogi.



"Kamu bandel Ya...!?, kamu liar ya...!? kalau tidak bandel, kalau tidak liar, kenapa kamu sampai lari dari rumah..!? pasti kamu sudah melakukan kesalah fatal sampai - sampai kamu kabur dari rumah...!



pertanyaan dan tuduhan kasar yang keluar dari mulut cak Momot sangat menusuk telinga Susi. Panas mendengar semua pertanyaan dan pernyataan itu, membuat Susi tidak bisa berkata apa-apa. lidahnya kelu, matanyapun mengimbangi dengan belalak lebar. Susi benar - benar dibuat tidak nyaman, namun kemudian kalimat - kalimat yang bersifat perintah dan memohon, keluar dari mulut cak Momot.



"Sus, kamu sudah masuk diruang lingkup keluarga besar BUDI PRAWIRO SUTOMO, kebetulan papi belum punya anak angkat perempuan. Papi nggak mau tahu soal keluargamu disana, yang jelas, kamu sudah masuk di keluarga ini. Kalau anak angkat papi yang sebelumnya belum ada yang masuk dalam kartu keluarga, maka, untuk kamu, malam ini papi akan uruskan kartu keluarga baru, dan ada namamu sebagi anak sulung disitu, sore nanti, ajari adik - adikmu ngaji, terutama si Dito, dan besok pagi kamu temui papi di kantor belakang, ada tugas yang harus kamu selesaikan..."



Tanpa melihat ekspresi wajah Susi, cak Momot langsug beranjak ke kamar mandi, dan rapat kecil di ruang keluarga bubar begitu saja. Anak - anak kembali ke kesibukan mereka masing - masing, Uli dengan bacaan novelnya, Dewo dan Dito kembali main game di kamar mereka. Tinggal Susi dan Bu Dewi, Susi memang merasa sangat dekat dengan Bu Dewi, dia merasa seperti tenang kalau ada Bu Dewi, mereka memang kompak dalam dua hari ini, malam mereka ngobrol sampailarut, pagi dan siangpun banyak waktu yang mereka habiskan bersama. Dari apa yang disampaikan cak Momot kepada Susi, Bu Dewi hanya senyum penuh arti, yang menandakan sangat menyetujui apa yang telah disampaikan Cak Momot. Setelah diskusi kecil dengan Bu Dewi, akhirnya Susi pamit ke kamar.



"Mengajar ngaji...? Anak Sulung....? apa yang harus aku lakukan...? Aku memang bisa membaca al-qur'an, tapi kalau untuk mengajar...? dan, kenapa begitu cepat Cak Momot memutuskan aku sebagai anak tertua dalam keluarga mereka....? tidakkah mereka khawatir, kalau sewaktu - waktu aku pergi dari rumah ini, dengan membawa harta benda mereka..? Tugas apa pula yang akan diberikan padaku..?



Berkecamuk lagi pikiran Susi, bingung, resah dan gelisah. Bagaimana tidak..? tiba - tiba saja dia jadi anak orang lain, yang belum pernah dia kenal. Seburuk apapun kondisi keluarga Susi disana, tidak akan tergantikan posisinya dengan keluarga lain di hati Susi yang paling dalam. Walaupun saat ini dia sedang bermasalah dengan orang tua, tapi bukan berarti dia bisa begitu saja berpaling ke keluarga lain. Susi sangat mencintai orang tuanya. Namun Demikian, Susi berusaha tenang, karena sampai kapanpun, orang tua kandungnya tetap menguasai ruang di hatinya.




"Mengaji......, kenapa setelah cak Momot menyuruh aku mengajari anak-anaknya ngaji, aku merasa ada sesuatu yang mengusap ruchaniku...?, sudah lama sekali aku tidak melakukan kewajibanku sebagai hamba allah. Selama ini, aku sibuk dengan permainanku, tidak pernah aku melakukan apa yang aku harus lakukan sebagai bentuk tanggung jawabku kepada yang telah mencipatakan aku...., banyak debu yang sudah mengotori hati dan jiwaku"




Sepertinya, ada desiran halus yang lewat di hati Susi. Dan, tiba - tiba saja Susi bangun dari tempat tidur, berjalan mantap ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian, terdengar gemericik air, diawali dengan membasuh tangan, berkumur dan membersihkan hidung, Susi mulai melafalkan niat wudlu dengan dibarengan usapan air keseluruah wajah, lalu berturut - turut tangan, rambut, telinga, dan berakhir di kaki. Sudah lama Susi tidak melakukan itu. Sungguh, betapa sejuk aliran air wudlu itu terasa di jiwa dan hati Susi. Ada rasa sesal, karena sudah lama Susi meninggalkan kewajiban Sholat. Tapi, setelah itu Susi bingung, karena dia tidak membawa mukenah. Namun Susi legah karena bisa pinjam si Fatim. Sengaja dia tidak pinjam Bu Dewi, karena Susi sudah berkeliling rumah itu, namun Susi tidak menemukan musholla keluarga. Mungkin Bu Dewi melakukan kewajiban beragama hanya didalam kamar.



"Dito....., kakak awali dengan pengenalan huruf hijaiyah dulu ya..? kemudian cara baca dan tajwidnya...?



Sore itu Susi mulai mengajar ngaji Dito, Dito masih kelas dua SD, jadi Susi berusaha bertutur kata lebih lembut..,



"Kak, Dito di sekolah sudah di beri pelajaran hafalan surat - surat pendek, jadi sekarang tinggal ngelanjut aja, Dito nggak mau kalau harus mengulang..!"



Rupanya Dito tidak berkenan dengan tawaran Susi. Akhirnya, Susi mengikuti kemauan Dito. Susi melihat, Dito anaknya keras, dan terkesan suka memerintah. Tapi Susi bisa merasakan, dia sedikit manja. Setelah mengajari Dito, Susi memanggil Uli, tapi Uli masih berhalangan, dia sudah kelas dua SMP, dan sudah dapat haid, sedangkan Dewo tidak mau diajari Susi, mungkin dia malu, Dewo sudah kelas dua SMA. karena dia sudah remaja, dan Susi melihat, Dewo anaknya disiplin, Susi tidak mau memaksa Dewo untuk belajar ngaji, mungkin Dewo sudah dapat porsi lebih banyak dalam pelajaran agama di sekolah. Praktis sore itu Susi hanya mengajar Dito.


-------------------------------------------------


Pagi ini Susi menghadap Cak Momot di kantor. Rupanya, Cak Momot Sudah menyiapkan setumpuk berkas untuk diserahkan kepada Susi.



"Sus, ini berkas - berkas pekerjaan Papi selama tiga bulan. Oh ya, papi punya usaha agrobis dan pupuk. Selama ini, urusan administrasi di kantor ini, papi tangani sendiri. Sekarang, sudah ada kamu, dan papi tidak mau kamu kerja ditempat lain. Kebetulan saat ini usaha papi mulai berkembang, hanya saja, papi butuh bantuan modal dari bank, untuk itu, papi perintahkan kamu membuat proposal pengajuan kredit di bank, dengan dasar - dasar transaksi yang bisa kamu lihat di berkas - berkas yang papi berikan ini. Papi tidak mau dengar kamu bilang tidak bisa. Jadi, hari ini kamu mulai bekerja, buat laporan keuangan papi selama tiga bulan. Ya sudah, papi mau berangkat ke magelang, besok pagi papi pulang, dan papi harap laporan keuangan serta draft pengajuan kredit di bangk sudah ada di meja papi, jadi papi tinggal tanda tangan"



Seperti biasa, tanpa menunggu reaksi atau pertanyaan dari Susi, cak Momot berlalu begitu saja. Sepeninggal Cak Momot, Susi diam beberapa saat, pelan - pelan dia buka map yang berisi transaksi dan bukti - bukti pengeluaran kas serta purchase order dari customer selama tiga bulan. Setelah mempelajari semuanya, Susi mulai mengkonsep pekerjaannya. Susi menghentikan pekerjaannya pada saat adzan dzuhur terdengar. Bergegas dia kerumah untuk sholat dan makan siang, lalu kembali lagi ke kantor. Begitu sampai di ruang kerja, Susi dikejutkan dengan adanya Yayan, yang dengan santai duduk di kursi kerjanya.



"Enak ya kamu, baru saja diterima dikeluarga ini, sudah diberi percaya, dan diberi pekerjaan. Sedangkan aku...? sudah bertahun - tahun aku menjadi bagian keluarga ini, tapi, sampai sekarang aku belum diberi apa - apa. Aku hanya dijadikan tukang kebun disini...! Tapi, tidak apa - apa.., suatu saat kamu akan pergi dengan sendirinya, dan satu persatu keluarga ini akan habis...! lagi pula.., kamu belum tahu, bagaimana pola hidup keluarga ini. Aku peringatkan kamu, sebelum kamu rusak atau sebelum kamu hancur, cepat - cepat kamu tinggalkan rumah ini...!"



setelah bicara yang sarat dengan nada intimidasi itu, Yayan beranjak dari kursinya, dan kembali menata kebun di depan kantor. Ada sedikit rasa takut yang sempat lewat di hati susi, tapi Susi tidak memberi kesempatan rasa takut itu singgah.



"Kepalang tanggung, aku sudah jauh dari rumah, jauh dari orang tua, dengan tujuan dan harapan mencapai kehidupan yang lebih baik. Aku harus berani menghadapi semuanya dengan keyakinan yang mantap, bahwa semua ada yang mengatur, aku akan lebih meningkatkan kepasrahan pada yang kuasa. Bismillahirrahmanirrahhiim, aku niat bekerja, untuk menata masa depan"



Setelah memotivasi dirinya sendiri, Susi mulai lagi mengkonsep pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini. Semua ucapan Yayan, dibiarkan berlalu begitu saja. Susi tidak akan bilang kepada siapapun. Akhirnya, setelah lepas isya', laporan semua bentuk laporan sudah diselesaikan, begitu juga dengan proposal pengajuan kreditnya. Terpaksa hari ini dia absen mengajar ngaji "adik - adik"nya. Susi merapikan semua berkas yang berserakan di mejanya, lalu disimpan di laci meja dan di kuncinya. Ada rasa khawatir yang menyelinap, kalau - kalau si Yayan mengacaukan apa yang telah dikerjakannya hari ini. Setelah mengunci laci meja, Susi kembali kerumah, langsung ambil air wudlu untuk menunaikan sholat isya'. Setelah itu, dia rebahan dikamarnya. Tiba - tiba dia teringat Ardi. Sudah hampir seminggu dia di Jogya, Susi merasa sudah waktunya dia menghubungi Ardi. Susi keruang keluarga, dan meminta ijin bu Dewi untuk memakai telphon, begitu dapat ijin, Susi langsung mendial nomor telphon rumah Ardi yang masih melekat diingatannya.



"Hallo..., Assalamu'alaikuum..., bisa bicara dengan Ardi...?"



Susi mengawali pembicaraan di telphon dg si penerima, rupanya Ardi tidak ada di rumah, pembantunya memberikan nomor telphon restoran Ardi. Segera Susi mendial nomor itu. setelah menu, meunggu beberapa saat, terdengar suara laki - laki yang sudah tidak asing ditelinga Susi. Rupanya Ardi sendiri yang mengangkat telphon itu.



"Ar, ini aku, Susi.., bagaimana kabarmu Ar...?



"Wah ngimpi aku yo Sus...?, tiba - tiba nongol suaramu...? Kabarku apik - apik wae Sus.., kamu sendiri gimana...?



Aku baik - baik saja Ar.., hanya saja.., saat ini, aku tidak ada di rumah. Aku jauh sekali dari rumah..,



"Lho...maksudmu piye...? kamu kos, gitu...? memang kamu sekarang dimana? dan kerja apa...?



"ya... bisalah dikatakan kos, hanya saja tempatku sekarang, jauh dari rumah, tapi dekat dengan rumahmu"



"Sik to Sus, aku ra paham..., maksudmu..., kamu di Jogya....?"



"Tepat, aku sekarang di Jogya di jalan mangkubumi Ar..."


Susi menyebutkan alamat rumah bu Dewi, setelah mendapatkan alamat, kontan saja Ardi menutup telphon, tanpa ada kalimat penutup apa - apa. Selang setengah jam, terdengar deru motor didepan rumah. Begitu bel pagar berbunyi, Fatim langsung membuka pintu. Sayup - sayup terdengar suara Ardi menanyakan kebenaran soal Susi, apa betul dia tinggal di rumah ini. Fatim mengiyakan, dan mempersilahkan Ardi masuk.., dilanjutkan dengan memanggil Susi. Tanpa menunggu Susi duduk, Ardi langsung menyerbu Susi dengan aneka macam pertanyaan.



"Uedaan..kowe Sus..!, ora enek kabar, moro - moro muncul ning Jogya, ora mampir.., Kok yo aneh...,! aku iki kan trisnamu, kok yo ora marani aku..., kenapa Sus...? gak paham aku Sus...,!"



"Aduh Ar..., nggak usah teriak - teriak gitu...!, aku ngagk budek...! Aku sengaja nggak ngabari kamu, nggak datang kerumahmu, karena aku merasa aku ini bukan siapa - siapamu. Lagian..., aku belum pernah janji apa - apa ke kamu. Aku juga nggak pernah berharap apa - apa ke kamu, Jadi, menurutku..., aku lebih baik ketempat lain, bukan rumahmu..., kalau aku kerumahmu, belum tentu aku akan jadi lebih baik... Ma'af, bukannya aku tidak percaya, tapi aku menjaga.., aku jauh dari rumah, aku tidak punya apa - apa, dan siapa - siapa.., aku hanya punya kehormatan dan harga diri yang harus kujaga.., kalau aku kerumahmu..., apa aku bisa menjaga itu semua...? dan, apakah aku ada jaminan untuk bisa lebih baik...?, Sudahlah Ar..., yang penting, aku sudah hubungi kamu.., dan kamu sudah tahu tempat tinggalku..., kita bisa memulainya lagi, ma'afkan aku Ar..."



"Wisn Sus, aku ngerti..., tapi aku ora iso ngerteni..., menurutku, langkah yang seperti itu, tidak mencerminkan sedikitpun rasa cinta dan kepercayaanmu padaku. Aku tidak bisa terima itu Sus..., Artinya..., kita bukan memulai lagi, tapi harus mengakhiri..., karena..., terus terang, aku tersinggung Sus..., jelas sekali kamu meremehkan aku. Ya sudah Sus, aku pamit. Mungkin, setelah ini, aku tidak akan menemui kamu lagi"



Setelah mengucapkan kalimat yang terakhir, Ardi langsung berdiri, dan berjalan keluar. Susi hanya terdiam, dan tidak mencegah sama sekali. Tapi, Susi legah sudah menghubungi Ardi. Meskipun reaksi Ardi meleset jauh dari gambarannya, Susi berusaha menerimanya. Sejak saat itu, hubungan Susi dan Ardi betul - betul jauh.., ironis sekali, mereka berdua, dekat dimata.., jauh dihati.


@@@@@@@@@@@@@@

*********************

Bagaiman kelanjutan cerita Susi...? ikuti ceritanya di episode Susi dan kota Jogya bagian ke III



Tidak ada komentar:

Posting Komentar