Minggu, 15 Maret 2009

Susi dan kota Jogya I

"dia itu bisa apa...? kerjaan tidak ada, pacar tidak punya, cuma bisa bikin malu aja, dia anak gadis yang tidak berguna..."

Suara percakapan kedua orangtuanya, didengar jelas oleh Susi, telinganya terasa panas, dan titik2 bening mulai berjatuhan di pipinya, seketika itu juga timbul niat untuk segera meninggalkan rumah orang tuanya, Susi belum tahu, kemana harus pergi, semalaman dia tidak tidur, dia berkemas baju dan mental. Hatinya berkecamuk tidak karuan, antara pergi dan tidak. Perang batin akhirnya dimenangkan oleh keputusan untuk pergi dari rumah.

Akhirnya, tepat pukul 3.00 WIb, Susi meninggalkan rumah, kebetulan rumah Susi dekat sekali dengan terminal bus antar kota. Bawa baju seadanya, dan uang yang hanya bisa dipakai makan sehari, karena itu yang dia punya.

Setibanya di terminal, susi langsung saja naik bus, tanpa tanya tujuan kemana bus itu jalan. Hatinya diliputi rasa sedih, jengkel, dan perasaan - perasaan sensi lainnya. Tapi, air mata sudah tidak seenaknya lagi membasahi pipi, ada rasa tidak mengerti dihatinya, kenapa orang tuanya bisa setega itu...? Pikiran Susi mengembara kemana - mana,


"Mulai hari ini saya berhenti...!, saya tidak bisa diperlakukan tidak adil...! saya dan Helen punya tingkat pendidikan sama, dikantorpun punya posisi yang sama, Dan, yang paling harus dingat, Bapaklah yang meminta saya untuk kerja disini, bukan saya yang merengek - rengek untuk bisa kerja di kantor bapak...! Dan, saya paling tidak suka diperintah - perintah yang tidak berhubungan dengan pekerjaan saya...! Puih....!!! jangan dikira saya mau begitu saja membersihkan meja bekas helen makan....! Jangan mentang-mentang Helen dan Bapak bermata sipit, lalu seenaknya main perintah kepada saya, saya tidak terlalu bergantung isi perut ke Bapak...! Bukan disini saja ladang mencari makan...!"

Kalimat - kalimat kasar itu meluncur pedas dari mulut Susi yang dilontarkan kepada Pak Nathan, pemilik perusahaan tempat dia bekerja, dan sejak itu Susi tidak lagi bekerja, dia sempat nganggur. Belum genap dua bulan Susi nganggur, sudah dia dengar pembicaraan yang menyakitkan kedua orang tuanya tentang dia.

"Mau kemana...?"

Suara pemuda yang berdiri didepannya itu menghentikan lamunannya

" Bukan urusanmu..."!

jawab Susi seenaknya, tanpa memandang wajah pemuda itu, segera kursi disebelahnya di blokir dengan tas bawaan, agar si pemuda tidak duduk disebelahnya.

"Kamu kok terlihat kacau banget...?, ada apa...? kamu lari dari rumah ya...?"

"Ih...! usil banget sih...! mau tahu urusan orang aja...! aku mau minggat kek....!, aku kacau kek...! bukan urasanmu....! Sudah! jangan ganggu aku...!"

jawab Susi dengan ketus.

Akhirnya, pemuda itu duduk didepan Susi, sesekali dia menoleh kearah tempat Susi duduk, Entah apa yang ada dibenak pemuda itu. Yang jelas, susi merasa risih dengan perhatian pemuda itu, walaupun jujur dihati dia menilai, bahwa tidak ada niat jelek yang terpancar dari mata pemuda itu. Tapi, karena dia sedang ruwet, dan tidak mau membuka komunikasi dengan siapapun, jadilah Susi gadis super cuek, apatis dan semaunya dia. Pandangan matanya tidak beralih sama sekali dari kaca jendela bus. Mungkin dengan mengalihkan pandangan kearah jendela, dia bisa membebaskan pikirannya untuk berkelana kemana- kemana.

"Karcisnya mbak..",

suara kondektur membuyarkan kelananya, tanpa basa - basi Susi langsung menyodorkan lembaran duapuluh ribu ke kondektur, hanya selembar itu yang dia punya.

"Kemana mbak?"

"Bus ini berhenti dimana?" tanya Susi balik.

"Jogya mbak.."
"ya udah, aku turun jogya".


Dari selembar duapuluh ribu tadi, susi masih menerima kembalian, setelah itu dia kembali ke jendela dan menyusun lagi potongan - potongan lamunanya yang sempat buyar karena pertanyaan kondektur.

Susi melirik ke arah kursi yang ditempati tasnya, bus yang ditumpangi kebetulan agak sepi, jadi dengan merdeka tas Susi menguasai satu kursi. Dia cuma membawa dua stel pakaian, tiga dengan yang dikenakan, kaos oblong dan jins belel yang robek di lutut. Rambutnyapun dibiarkan terurai tidak beraturan, dengan penampilan seperti itu, Susi betul - betul terlihat kacau, tidak lepas dari penampilan anak jalanan. Maklum, dia tadi meninggalkan rumah tanpa cuci muka, tanpa sisir apalagi pakai bedak.., Sepanjang jalan ke terminal Susi hanya menangis, di tumpahkan semua air matanya. Dan, cairan itu sudah betul - betul habis pada saat Susi naik Bis. Dia paksakan wajahnya untuk terlihat kuat.

"Madiun - madiun, yang turun madiun siap -siap...!,

penumpang yang bertujuan madiun sontak berdiri, tanpa sengaja pandangan mata susi bersipuruk dengan mata pemuda itu. Susi cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Pada saat lewat dikursi tempat Susi duduk, pemuda itu melemparkan bungkus permen, kemudian mengangkat kedua tangannya dan memohon agar bungkus permen itu tidak dibuang. Susi sempat mendengar pembicaraan pemuda itu dengan konduktur.

" Jaga gadis itu bang, saya titip dia sampai Jogya ",

"sok banget dia..! memang aku ini siapanya...? adik bukan, kakak bukan, apalagi pacar...! bisa - bisanya dia pakai acara nitip ke kondektur segala...!"

Ocehan Susi dalam hati, yang tidak suka dengan sikap pemuda itu. Sekali lagi pemuda itu memberi kode dengan kedua tangannya kepada Susi, agar bungkus permen tadi tidak dibuang, kemudian dia melambai tanda berpisah, Susi hanya membalas dengan tatapan mata tajam, tanpa senyum, pandangan matanya tidak lepas dari pemuda itu sampai akhirnya pemuda itu menghilang.Hampir lupa susi dengan bungkus permen itu, pada saat kondektur teriak - teriak bis dah sampai Solo, Susi baru ingat dengan bungkus permen itu. Malas - malasan dia membuka, namun, Susi dikejutkan dengan isinya, lembaran uang, dan ada secarik kertas yang bertuliskan nama dan alamat pemuda itu.

"Ah, apa yang dipikirkan pemuda itu tentan aku?, kenapa dia tinggalkan ini untukku?, begitu ibakah penampilanku? sampai - sampai pemuda itu menaruh kasihan padaku? "

"Kasihan....?" Terlalu naif kalau dia kunilai seperti itu, bisa saja dia lakukan ini dengan tumpukan pamrih. Tapi, bagaimanapun juga, aku berhutang Budi pada pemuda itu, aku sangat tertolong dengan lembaran rupiah yang diberikan padaku."

Susi belum juga cair dalam menilai negatif terhadap pemuda itu

"I Wayan Bagiarta", nama pemuda itu, lengkap dengan alamatnya. "Ya sudah, aku sudah sampai Yogya, aku harus konsentrasi harus kemana. Soal pemuda itu, nanti saja kupikirkan, toh aku dah kantongi nama dan alamat pemuda itu. Kalau dah dapat kerjaan dan berpenghasilan, aku pasti membayar semua nilai rupiah yang telah diberikan pemuda itu padaku"

pikir Susi, dan bergegas mengambil tasnya, lalu turun meninggalkan bis. Susi sempat diam beberapa jam di terminal umbulharjo, bingung menyelimuti pikirannya, tidak tahu harus kemana. Sebenarnya dia saat itu punya pacar di Jogya, sejak SMA dulu Susi menjalin hubungan dengan Ardi, namun demikian, tidak ada dibenak Susi untuk menghubungi atau datang ke rumah Ardi. Susi dah hafal siapa dan bagaimana Ardi, begitu juga dengan ibu Ardi. Keputusannya bulat untuk tidak menghubungi Ardi, memang ada prinsip yang dia pegang, selama masih berstatus pacar, Susi tidak akan pernah datang ke rumah pacar, apapun alasannya. Sedikit idealis memang, tapi itulah Susi, dia tidak mau masa depannya hancur karena mendatangi rumah pacar. Negatif sekali yang Susi pikirkan tentang pacarnya, bagaimana tidak..? Selama di Surabaya, Ardi hanya mengisi hari - harinya dengan minum2an keras dan berjudi, Susi tahu persis karena Ardi tinggal disebelah rumah orang tuanya.

Bapak Ardi adalah seorang pengusaha travel di Surabaya, sedangkan Ardi adalah anak dari istri kedua, yang tinggal di Yogya. Setiap liburan sekolah, Ardi selalu ke Surabaya, dan menghabiskan waktunya dengan minum, berjudi serta berhura - hura dengan komunitas pemabuk lainnya. Tapi, setelah mengenal Susi, Ardi banyak berubah, dia bahkan berani janji tidak akan menyentuh minuman dan perjudi lagi. Susi benar - benar telah merubah kebiasaan Ardi, lambat laun, Ardi telah terbiasa dengan kehidupan Susi. Lulus SMA, Ardi ke Surabaya, dengan harapan bisa dekat dengan Susi., Ardi mulai berani mengungkapkan cintanya ke Susi. susi sendiri mulai jatuh hati kepada Ardi, jadilah mereka sepasang kekasih.., tapi hubungan mereka hanya diketahui oleh keluarga Ardi, sedangkan orang tua susi tidak pernah mengetahui, bahkan sampai Ardi kembali ke Jogya, untuk kuliah, dan meneruskan usaha restoran ibunya, Susi masih menyembunyikan hubungan mereka dari orang tua, alasan susi menyembunyikan itu semua karena ada rasa takut tidak ada restu, mengingat orang tua Susi sangat membenci kelakuan Ardi dulu yang suka minum dan berjudi.

Kepulangan Ardi ke Jogya dengan membawa harapan kelak bisa kembali ke Surabaya untuk hidup bersama Susi. Susi melepas Ardi di terminal, tanpa janji atau ucapan apapun mengiringi kepergian Ardi. Susi memang tidak pernah berharap lebih dari hubungan itu. Karena Susi masih ingin bekerja, membantu orang tua. Maklum, keluarga Susi tergolong keluarga yang tidak berkecukupan, semua serba pas - pasan. Hubungan asmara yang dijalinnya dengan Ardi tidak pernah di buat serius, Susi memang menganggap Ardi sebagi kekasih, tapi Susi betul - betul tidak mau bergantung kepada Ardi. Bahkan surat - surat yang dikirim Ardi untuk Susi waktu itu, tidak pernah dibalasnya. Susi benar - benar menggantung hubungannya dengan Ardi,


"becak Mbak...?" Suara tukang becak membuyarkan untaian lamunan dia tentang Ardi. tiba - tiba saja dia teringat, bahwa dia pernah kenalan dengan seorang ibu di Bis, waktu itu Susi dalam perjalan ke Jogya, membawa turis, sampai di Solo, ada seorang ibu dan anaknya naik, meskipun sudak tidak ada lagi kursi, kondektur tetap saja memaksa ibu itu naik. Susi tergerak untuk memberikan kursinya kepada ibu itu.., dengan mimik sungguh - sungguh, ibu itu mengucapkan rasa terima kasihnya, berulang - ulang...,

"Terima kasih dik"

sekali lagi ibu itu mengucapkan rasa terima kasihnya pada saat bis sampai di jogya. Sebelum turun, ibu itu sempat meberi kartu nama dan berkata

"Suatu saat, adik akan datang ke rumah saya, saya yakin itu"

"ah, kenapa pikiranku jadi kemana - mana..?"

gumam Susi, dia langsung mengiyakan tawaran tukang becak itu, mantap Susi menyebutkan alamat yang dituju, dia bergegas bertengger di atas becak, ada perasaan riang dihatinya, begitu kartu nama yang diberikan ibu itu masih tersimpan rapi didompet. Dra. Dewi Damayanti nama yang tertera di kartu itu seperti mengalirkan rasa sejuk di hatinya.

"ke Nitikan pak.."

pinta Susi kepada tukang becak, itu alamat bu Dewi.

Sampailah Susi di rumah bu Dewi, rumah yang asri, dengan tatanan teras sejuk berhias bunga dengan nuansa dedaunan lebat, terkesan teduh dan segar. Begitu membuka pintu pagar, susi di kejutkan dengan suara wanita paroh baya bergaya santai dia menegur Susi,

"sampai juga kamu disini, langsung saja masuk, mandi dan saya tunggu kamu di ruang makan, Oh ya, kamarmu sudah disiapkan..., cepat mandi sana gih...!"


Susi hanya bisa bengong didepan pintu, dia sangat tidak mengerti, kenapa bu Dewi seolah - olah sudah mengetahui rencana kedatangannya? kenapa tidak tersirat rasa terkejut dengan kedatangannya...? berbagai pertanyaan berkecamuk dibenak susi, sampai akhirnya terhenti dengan ucapan bu Dewi.


"tunggu apa lagi...?, ayo masuk..., cepat mandi sana...., badanmu dekil banget, kusam dan bau, mami yakin, seharian kamu tidak tersentuh air..."


"i...iya bu..."
jawab Susi singkat, dan dengan langkah ragu dia masuk kerumah itu, serta dibarengi pertanyaan - pertanyaan yang gemuruh riuh ribut di hati dan pikirannya, seolah - olah meminta otak Susi untuk segera mencarikan jawaban dari sikap Bu Dewi yang tidak terkejut atau heran atas kedatanga Susi. Ditambah lagi kamar yang sudah disiapkan untuknya...., kehadiran Susi dirumah itu sepertinya sudah dinantikan.


"waduuh...., topik apalagi ini? bingung aku...,"
gerutu Susi dalam hati. Langkah Susi berat menuju kamar itu, ada rasa ragu, cemas dan setumpuk perasaan aneh yang campur aduk. Namun, susi masuk juga ke kamar yang sudah disiapkan untuknya. Kamar dengan ukuran lumayan luas, tempat tidur yang bagus, warnanya senada dengan almari yang gagah berdiri disamping tempat tidur. Jauh sekali dengan kondisi kamar Susi di rumah, sudah sempit..., dihuni berdua lagi. Yah, Susi sekamar dengan adiknya dirumah sana.


Setelah mengeluarkan isi tas, dan meletakkan di almari, Susi bergegas mandi. Kamar mandi sudah ada didalam kamar. handuk, sikat gigi, shampoo,sabun, semua sudah disiapkan, dan masih terbungkus...,


"ah..., ketemu juga aku dengan air, duh segernya....",


Susi menikmati guyuran air dari shower, yang belum pernah ditemuinya. Ada rasa senang menyembul ditengah hatinya yang sedang bercengkerama dengan kebingungan tentang apa yang dia dapatkan di rumah itu, juga sikap bu Dewi yang begitu siap menerima kedatangannya,




Susi baru saja selesai ketika tiba - tiba ada ketukan dipintu kamarnya,


"Di tunggu ibu mbaak..."
suara dari luar mengejutkan Susi yang tengah mengeringkan rambutnya, tanpa sisir dan bedak Susi menuju keruang makan, bersama pembantu ibu Dewi, ternyata ruang makan ada di belakang kamar Susi.


"Ayo Susi, segera isi perutmu, jangan dibiarkan kosong terlalu lama, mami nggak mau kamu sakit, perjalananmu masih panjang, dan kamu sangat dibutuhkan disini"


"Dibutuhkan....?"
"aku dibutuhkan untuk apa...?
pertanyaan Susi hanya sampai ditenggorakan, tidak ada keberanian mengeluarkan pertanyaan itu, Susi akhirnya diam, menikmati makan siangnya dengan lahap. Setelah makan siang, Susi dibawa keruang santai, ruanganya enak untuk lesehan, matras-matras dilantai siap menunggu untuk diduduki. Dengan santai Bu Dewi duduk bersila, dan menyodorkan rokok untuk Susi.


"sudah....., gak usah malu, saya tahu kok kamu perokok.., santai aja..." celoteh Bu Dewi seolah tahu apa yang sedang dipikirkan Susi".


"Hmmm, aku memang perokok, sejauh ini belum ada yang tahu tentang kebiasaanku itu, padahal sejak SMA aku sudah kenal rokok, namun karenya kepandaianku menyimpan rahasia itu, tak seorangpun yang tahu, Baik teman maupun keluarga.., tapi ibu satu ini....? punya kelebihan apa sih dia...? mungkin penampilan membuat bu Dewi mudah menebak kebiasaanku, kenapa aku harus bingung dengan kelebihan yang dimilikinya...?, yang penting sekarang aku sudah sampai di Jogya, dan aku harus pikirkan langkah selanjutnya, Aku tidak mungkin tinggal disini, ada keanehan yang kurasakan, entah aura apa.., yang jelas ada yang ganjil" Susi terus bermain dengan pikirannya...,


------------------------------------------------------------------------------------------------

- apa yang akan dialami Susi...?

- Bagaimana dengan I WAYAN BAGIARTA...?

- Bagaiman dengan Ardi....

nantikan JAWABANNYA DI "susi dan Jogy II"

1 komentar:

  1. waduh...waduh tak kubayangkan ceritamu sesedih itu...semoga ada sutradara yang mau mengangkat ceritamu dilayar lebar....
    ayoo...terusin babak lanjutannya...semangat!

    BalasHapus